Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Dari Deforestasi ke COP30 Brazil: Membangun Aksi Nyata Menghadapi Krisis Iklim

4 min read

cop30 brazil

Krisis iklim bukan lagi sekadar isu, tapi kenyataan yang kita rasakan setiap hari. Suhu bumi naik, cuaca makin tak menentu, banjir dan kekeringan datang silih berganti. Di tengah ancaman itu, aku teringat masa ketika tinggal di tongkonan Kale Landorundun, Toraja Utara.

Pagi itu, kabut masih menggantung di antara rimbun hutan di belakang tongkonan Kale Landorundun. Udara terasa sejuk, bahkan sedikit menggigit. Di kejauhan, juga nampak hamparan sawah hijau. Aroma kopi yang tersaji di teras tongkonan membuyarkan lamunanku. Di sini, aku belajar satu hal penting: alam bukan sekadar tempat tinggal, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri.

Masyarakat Toraja menjaga alam dengan kesadaran penuh. Mereka hidup berdampingan dengan hutan tanpa berlebihan. Bagi mereka, merawat bumi bukan kewajiban, melainkan identitas dan warisan leluhur.

Sayangnya, di banyak tempat lain, deforestasi terus terjadi. Pohon-pohon ditebang tanpa henti, meninggalkan bumi kering dan rapuh. Ketika hutan hilang, bukan hanya pepohonan yang lenyap, tetapi juga rumah bagi makhluk hidup, sumber air, dan keseimbangan iklim yang menjaga kita tetap bertahan.

Dampak Deforestasi Hutan Terhadap Krisis Iklim

Laju deforestasi setiap tahunnya terus meningkat, menyebabkan bumi kehilangan sepertiga hutannya sejak zaman es berakhir. Penebangan hutan dilakukan untuk membuka lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, maupun real estate.

Niat awalnya mungkin untuk memajukan perekonomian, namun penebangan tanpa penanaman kembali justru memperburuk dampak perubahan iklim. Bencana alam kini seakan menjadi agenda tahunan di berbagai belahan dunia.

Kenaikan suhu global menjadi bukti nyata: pada tahun 2024, suhu bumi mencapai 1,5957°C, menjadikannya tahun terpanas sepanjang sejarah. Jika suhu bumi menembus angka 1,6°C, kekeringan ekstrem di berbagai wilayah akan semakin sulit dihindari.

Kondisi ini diperparah oleh keadaan hutan Amazon—paru-paru dunia—yang terus kehilangan luas hutannya. Dari total area 7 juta km², lebih dari 54,2 juta hektar hutan telah hilang dalam dua dekade terakhir.

Deforestasi di Amazon tidak hanya memperburuk pemanasan global, tapi juga mengancam keseimbangan ekosistem dunia. Untuk itu, berbagai upaya global pun dilakukan, termasuk melalui Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) yang akan digelar tahun ini.

COP30 Brazil 2025: Harapan Baru untuk Aksi Nyata Menghadapi Krisis Iklim

Tahun 2025, dunia akan kembali berkumpul dalam Conference of the Parties (COP30) yang diselenggarakan di Brazil pada 10–21 November. Konferensi ini menjadi momentum penting bagi negara-negara di dunia untuk memperkuat komitmen menurunkan suhu bumi sesuai Paris Agreement, yaitu menjaga kenaikan suhu global agar tetap di bawah 1,5°C.

Sejak pertama kali digelar pada tahun 1995, COP telah menjadi wadah penting bagi negara-negara untuk bernegosiasi, berbagi pengetahuan, dan mencari solusi atas krisis iklim global. COP bukan sekadar pertemuan para ahli lingkungan, tetapi forum internasional untuk menemukan langkah nyata—mulai dari pengurangan emisi karbon, transisi energi bersih, hingga adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Berbagai kesepakatan besar lahir dari konferensi ini, seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris, yang menjadi tonggak dalam upaya global menekan laju perubahan iklim. Melalui agenda rutin yang diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dunia terus berupaya mencari strategi terbaik dalam mitigasi dan adaptasi krisis iklim.

COP bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan tombak sejarah untuk memperkuat aksi nyata. Harapan besar kembali tumbuh di COP30 Brazil: bagaimana setiap negara mampu mengambil keputusan berani dalam menurunkan suhu bumi, menghentikan deforestasi, mengganti bahan bakar fosil, dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan.

Lebih dari sekadar negosiasi, COP adalah panggilan bagi dunia untuk bergerak bersama—karena masa depan bumi bergantung pada keputusan yang kita ambil hari ini.

Target dan Harapan COP30

target cop30 brazilAda target besar di COP30 Brazil dalam mengatasi krisis iklim. Seperti yang disampaikan oleh Cinthia Leone, jurnalis sekaligus koordinator diplomasi iklim di Climainfo, terdapat beberapa fokus utama:

  • Menentukan target baru terhadap NDCs (Nationally Determined Contributions) berdasarkan hasil kesepakatan global di COP28 — mencakup 50 NDCs dan 100 komitmen.
  • Mendorong pendanaan iklim yang adil dan berkelanjutan.
  • Mewujudkan adaptasi dan transisi energi yang adil bagi semua negara

Cinthia Leone juga menekankan bahwa COP30 harus menjadi momentum memperkuat Paris Agreement, dengan target menjaga ambang batas suhu bumi di bawah 1,5°C.

Selain itu, COP akan terus hadir dan berlanjut pada COP31, COP32, dan seterusnya. Negara-negara peserta diharapkan menyerahkan NDC baru yang lebih ambisius pada tahun 2026 sebagai bentuk nyata komitmen global terhadap aksi iklim.

Tantangan COP dalam Mitigasi Iklim 

Peran COP30 dalam menghadapi perubahan iklim sangat penting, terutama melalui negosiasi antarnegara yang menentukan arah kebijakan global. Namun, tantangan terbesarnya bukan sekadar menyepakati dokumen, melainkan mengubah janji menjadi tindakan nyata.

Negara-negara peserta harus berani mengambil keputusan politik yang adil dan berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Di sisi lain, masyarakat sipil juga berperan besar dalam mengawasi, memberikan tekanan, dan memastikan komitmen COP30 benar-benar terlaksana.

Sayangnya, masih ada pihak yang memanfaatkan isu lingkungan untuk kepentingan ekonomi semata, termasuk penyebaran informasi palsu (hoaks) tentang krisis iklim di internet. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan menjaga bumi bukan hanya soal kebijakan global, tetapi juga tentang kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama.

Hoax Tentang Iklim yang Disengaja

hoax tentang perubahan iklimSudah jelas bahwa penyebab kenaikan suhu bumi berasal dari aktivitas manusia itu sendiri—mulai dari deforestasi hutan, penggunaan bahan bakar fosil, hingga aktivitas industri dan peternakan yang tak terkendali.

Namun ketika berbicara tentang solusi iklim, selalu ada pihak yang merasa dirugikan. Inilah yang kemudian memunculkan berbagai kampanye disinformasi atau penyebaran berita bohong yang bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan memperlambat aksi iklim global.

Menurut Thais Lazzeri dari FALA Agency, berita bohong tentang perubahan iklim dibuat secara sistematis untuk menipu dan memengaruhi masyarakat. Bahkan, kebohongan menyebar 70% lebih cepat dibandingkan informasi yang benar.

Sebuah studi tahun 2019 oleh Universitas Baltimore mengungkapkan bahwa dana yang dikucurkan untuk produksi dan penyebaran misinformasi mencapai US$ 78 miliar, sementara pendapatan yang dihasilkan dari monetisasi konten hoaks mencapai US$ 2,6 miliar.

Lebih mencengangkan lagi, hasil studi tersebut juga menemukan bahwa dari 96 saluran media yang diteliti, sekitar 20% kontennya berisi penolakan terhadap isu perubahan iklim, dengan fokus utama menyerang solusi dan kebijakan iklim.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan krisis iklim tidak hanya terjadi di hutan, pabrik, atau ruang konferensi seperti COP30, tetapi juga di ruang digital—di mana kebenaran dan kepentingan saling bersaing mempengaruhi masa depan bumi.

Aksi Nyata untuk Mendukung COP30 dan Menghadapi Krisis Iklim

Perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan setiap hari. Inilah yang aku percaya hingga saat ini.

Jujur, melihat berita tentang kerusakan hutan yang kian hari kian parah, membuat dadaku sesak. Apa yang sedang mereka kejar? Apakah uang mereka masih kurang banyak hingga tak ada puasnya merusak alam?!

Untuk itu, aku berusaha ambil bagian dalam menghadapi krisis iklim ini. Salah satu bentuk nyata dukunganku terhadap COP30 adalah dengan mengonsumsi makanan lokal. Pilihan ini menekan emisi transportasi jarak jauh, mengurangi limbah kemasan, dan mendukung petani lokal yang menjaga tanahnya tetap lestari tanpa merusak hutan.

Kita juga bisa berkontribusi melalui pengurangan energi fosil—misalnya dengan menggunakan transportasi umum dan berjalan kaki. Bahkan hal sederhana seperti mematikan lampu dan alat elektronik saat tidak digunakan adalah bagian kecil dari perubahan besar.

Selain itu, mengelola sampah dengan bijak menjadi langkah penting. Memilah, mendaur ulang, dan mengurangi plastik sekali pakai membantu mengurangi pencemaran dan emisi gas rumah kaca.

Langkah lain yang berdampak besar adalah menanam pohon serta ikut melindungi kawasan hijau di sekitar kita. Hutan bukan sekadar paru-paru dunia, tapi juga penyelamat kehidupan dari krisis iklim yang semakin nyata.

Dan di era digital, melawan disinformasi iklim menjadi bentuk aksi baru. Sebarkan kebenaran, edukasi orang di sekitar, dan menggunakan media sosial untuk menyuarakan pentingnya aksi iklim.

Krisis iklim tidak bisa diselesaikan oleh satu negara atau satu generasi saja. Namun setiap langkah kecil—dari memilih makanan lokal, menanam pohon, hingga melawan hoaks—adalah bagian dari gelombang besar menuju masa depan yang lebih hijau.

Kesimpulan

Mengatasi krisis iklim adalah tugas kita bersama. Di konferensi iklim COP30, kita menuntut untuk negara-negara mengambil keputusan yang adil untuk secepatnya mencapai net zero emission. 

Langkah tepat apa yang akan diambil untuk menurunkan bumi hingga ambang batas 1.5 derajat celcius, menciptakan solusi deforestasi di negara tropis, menurunkan emisi karbon, dan solusi lainnya untuk mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim. 

Yuk! Pantau COP30 Brazil agar kita bisa keluar dari krisis iklim.

Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *