Lilpjourney.com | Lingkungan – Hutan adalah sumber penghidupan yang sejati. Di balik rimbunnya daun dan kokohnya batang-batang pohon, tersembunyi kehidupan yang menopang jutaan makhluk—manusia, hewan, dan tumbuhan. Hutan memberi udara bersih untuk kita hirup, air untuk kita minum, pangan untuk kita konsumsi, dan secara tidak langsung melindungi tempat tinggal kita. Hutan juga erat hubungannya dengan masyarakat adat. Mereka menjaga alam dengan pengetahuan yang diturunkan dari generasi ke generasi: mengenali mana yang boleh diambil, mana yang harus tetap hidup, dan bagaimana menjaga keseimbangan. Lantas bagaimana kalau hutan dan adat hilang? Di tengah kekhawatiran itu, aku mulai mencari jawaban—dan sampailah aku menemukan harapan dalam konsep Ekonomi Restoratif: sebuah pendekatan yang tidak hanya memulihkan alam, tapi juga memulihkan relasi antara manusia dan bumi.
Apa Itu Ekonomi Restoratif?
Hari Sabtu, 14 Juni 2025 kemarin, aku mengikuti gathering “Nature’s Artisans: Exploring Eco-Friendly Crafts” secara online melalui Instagram Live @ecobloggersquad. Di sini aku menyimak bagaimana suara-suara kebaikan berkumpul dalam Ruang Setara dan Lestari—tempat di mana seni, pangan lokal, dan gerakan lestari saling bertemu. Dari sana pula aku semakin memahami bahwa semua elemen ini terhubung oleh satu benang merah yang kuat: ekonomi restoratif.
Ekonomi restoratif mengajak kita melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, tapi sebagai ruang hidup bersama yang harus dijaga. Konsep ini menekankan:
-
Adanya ambang batas eksploitasi sumber daya
-
Inklusivitas, terutama keterlibatan masyarakat adat dan lokal
-
Restorasi hutan dan ekosistem sebagai inti
-
Pengembangan nilai tambah dari potensi lokal secara berkelanjutan
Dengan kata lain, ekonomi restoratif adalah cara membangun masa depan tanpa mengorbankan bumi dan budaya.
LTKL: Akar Gerakan Kabupaten Lestari
Di balik semangat restoratif ini, berdiri LTKL (Lingkar Temu Kabupaten Lestari)—sebuah asosiasi yang menjadi ruang kolaborasi antar pemerintah kabupaten untuk menciptakan model pembangunan lestari. LTKL berperan sebagai akselerator perubahan dengan menggabungkan kekuatan daerah, masyarakat adat, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil.
Sejak awal, LTKL percaya bahwa pembangunan harus dilakukan tanpa mengorbankan hutan dan keberagaman budaya. Oleh karena itu, mereka merancang peta jalan bersama agar kabupaten yang menjadi anggota bisa saling belajar dan memperkuat kapasitas satu sama lain.
Hingga kini, LTKL beranggotakan sembilan kabupaten yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, yaitu: Aceh Tamiang, Siak, Musi Banyuasin, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sigi, Gorontalo, dan Bone Bolango. Setiap kabupaten membawa konteks lokalnya sendiri, namun bersatu dalam semangat menjaga bumi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan target ambisius pada tahun 2030—melindungi 50% kawasan hutan dan ekosistem penting di tingkat kabupaten serta meningkatkan kesejahteraan 1 juta orang—LTKL mengingatkan kita bahwa pembangunan yang berpihak pada alam bukan mimpi, melainkan jalan bersama yang bisa ditapaki sejak sekarang.
Ruang Setara dan Lestari: Tempat Bertemu, Tempat Tumbuh
Dalam gathering ini, “ruang” bukan sekadar tempat fisik, melainkan wadah tumbuhnya kesetaraan dan kolaborasi. Ruang Setara dan Lestari menjadi titik temu antara komunitas adat, UMKM lokal, seniman kolase, serta penggerak lingkungan.
Salah satu momen reflektif adalah saat peserta diajak membuat kolase dari gambar Kalimantan Barat dan lirik “Warisan Lintas Zaman.” Imajinasi yang dituangkan ke dalam kertas bukan sekadar ekspresi seni, tapi juga bentuk kesaksian atas cinta pada bumi dan warisan yang ingin dijaga.
Tembawang: Hutan Warisan, Hutan Harapan
Di Kalimantan Barat, dikenal satu bentuk pengelolaan hutan yang sarat nilai: Tembawang. Berbeda dari kawasan konservasi negara, Tembawang adalah hutan adat yang telah dikelola oleh masyarakat Dayak secara turun-temurun. Di dalamnya, tumbuh ratusan jenis pohon buah, tanaman obat, hingga sumber pangan yang menjadi penopang hidup komunitas.
Apa yang membuat Tembawang istimewa adalah prinsip keberlanjutan yang melekat dalam setiap praktiknya. Setiap pohon punya makna, setiap larangan punya cerita. Ada aturan adat yang melarang penebangan sembarangan, ada kebiasaan menjaga pohon buah untuk diwariskan ke generasi berikutnya, dan ada upacara adat sebagai bentuk rasa syukur atas apa yang tumbuh dari tanah.
Tembawang bukan hanya hutan, tapi juga arsip hidup dari pengetahuan lokal. Ia menjadi bukti nyata bahwa hutan bisa lestari bila dikelola dengan kasih, dan bahwa masyarakat adat bukan musuh pembangunan, melainkan penjaga paling setia dari keseimbangan alam.
Kalara Borneo: Regenerasi dari Hutan ke Harapan
Salah satu pelaku lokal yang turut mendukung Nature’s Artisans adalah Kalara Borneo. Didirikan oleh anak muda Kalimantan Barat yang peduli akan kelestarian lingkungan dan pemberdayaan komunitas, Kalara lebih dari sekadar pelaku ekonomi. Kalara Borneo adalah social enterprise dari Kalimantan Barat yang mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi produk pangan berkelanjutan. Mereka dikenal lewat cokelat bean-to-bar dari kakao lokal dan Maram Syrup dari buah rawa gambut.
Lewat kemitraan dengan petani dan komunitas adat, Kalara tidak hanya menghadirkan cita rasa khas hutan, tapi juga menjaga ekosistem dan mengangkat ekonomi lokal. Sebuah bentuk nyata dari praktik ekonomi restoratif—lembut, tapi berdampak.
Yagi Forest: Dari Alam, Untuk Kulit, Kembali ke Alam
Dalam industri skincare yang sering kali dipenuhi dengan kemasan plastik dan bahan kimia sintetis, Yagi Forest hadir sebagai angin segar. Brand lokal ini mengusung prinsip keberlanjutan yang konkret: menggunakan bahan alami, mengurangi limbah, dan mengedukasi konsumen tentang pentingnya merawat bumi lewat pilihan produk.
Yagi tak hanya memikirkan hasil akhir pada kulit, tapi juga jejak yang ditinggalkan pada alam. Mereka memilih bahan-bahan seperti ekstrak tumbuhan hutan tropis Indonesia, menggunakan kemasan daur ulang, dan terus menyempurnakan rantai pasok yang etis. Di balik produk-produknya, Yagi menyisipkan pesan: bahwa merawat diri adalah bagian dari merawat bumi.
Dalam acara Nature’s Artisans, kehadiran Yagi menjadi penyeimbang yang penting. Ia membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari yang personal, dan bahwa keputusan konsumen bisa menjadi dukungan nyata untuk ekonomi restoratif.
Belajar dari Gathering Nature’s Artisans: Kecil, Nyata, Bermakna
Dari layar Instagram, aku menyaksikan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari hal besar. Kadang cukup dari selembar kolase, semangkuk pangan lokal, atau sepotong dialog yang tulus. Ruang Setara dan Lestari mengajarkan bahwa semua bisa terlibat, semua bisa bergerak.
Ekonomi Restoratif: Bergerak Bersama Merawat Bumi
Menjaga bumi adalah tugas kolektif. Kita bisa mulai dari langkah kecil: memilih produk lokal, mendukung komunitas adat, menyuarakan pentingnya restorasi, atau bahkan sekadar berbagi cerita seperti ini.
Karena bumi bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah ibu yang telah lama merawat kita. Maka kini saatnya kita membalas: #BersamaBergerakBerdaya, dengan cinta dan kesadaran. Untuk siapa semua ini?
#UntukmuBumiku. 🌱