How I can forget you? |
Aku pernah memanggilmu sebagai ‘rumah’, tempat aku ingin pulang setelah tualang panjang. Walau, pada akhirnya, semua hilang karena egomu yang lebih tinggi daripada gunung yang pernah aku daki. Tak apa, setidaknya aku pernah berjuang sejauh ini, meski tak ternilai di matamu.
Aku mengenalmu kurang dari 15 menit. Dalam bisikan ‘halo’ yang mengantarkan ku pada petualangan panjang di tanah yang tak ingin ku rindukan, tapi saat ini selalu aku rindu.
Biarlah.
Aku sembuh dengan cara ini. Menulis sajak penuh drama ketika aku terluka, lalu akan mengarsipkannya saat luka itu sembuh sembari tertawa : KONYOL. Tapi, apa kamu hanya ingin aku arsip? Apa kamu tak ingin minum secangkir kopi di pagi hari bersamaku? Berbagi renca dan cerita? Menjadi orang pertama yang aku lihat saat aku bangun dan menjadi orang terakhir yang aku lihat sebelum aku terlelap tidur. Aku ingin menyeduhkan secangkir kopi pagi untukmu, memasakan makanan favoritmu, menyiapkan baju kerjamu dan memelukmu saat kau lelah.
Aku ingin menjadi apapun yang kau butuhkan tanpa menuntut kau melakukan hal yang sama. Tapi, egomu. Kau terlalu mustahil untuk aku dekap lebih lama. Entah apa yang ada di dalam kepala indahmu itu. Aku selalu kagum dengan cerita-cerita dan candaanmu. Suka dengan selera humormu. Aku juga suka dengan perutmu yang semakin membuncit, dengan tanganmu yang posesif. Andai jarak lebih bersahabat. Andai waktu lebih damai, akankah aku masih memilihmu untuk ku perjuangkan?
Sedang jujur saja, aku sadar, saat aku sedih akan selalu ada orang-orang yang menghiburku. Ada pundak yang bisa ku sandari. Ada tangan yang selalu mendekapku saat aku menahan semuanya sembari berbisik : menangislah, wajar sesekali kau menjadi ‘wanita’. Atau : hei! kamu terlalu berharga untuk menangisi lelaki itu, tidakah kau sadar?
Luar biasanya, dibalik pandangan ku tentang kamu yang luar biasa mampu membuatku gelisah, ada orang-orang yang selalu pasang badan untuk menampung keluhku.
Semoga selalu sehat, kamu