Toraja, never ending story
Terjebak Rindu Pada Magisnya Toraja
Toraja adalah kota yang berhasil membuat aku jatuh cinta. Kadang saat memikirkan kota ini saja, ada rindu yang menggebu. Hingga rapalan kata magis terucap : aku rindu, ingin kembali ke Toraja.
“Setiap traveler akan menemukan jodohnya masing-masing pada satu tempat yang akan membuatnya bolak-balik ke tempat tersebut dan mungkin tempat itu adalah Toraja buat kamu Put,” tutur Kak Nugi
Tak peduli sudah ada berapa banyak cerita tentang Toraja di blog ini. Aku memang masih terjebak magis kota ini. Kota yang letaknya cukup jauh dari Banjarmasin. Perlu perjalanan 1 jam dengan pesawat menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, lalu dilanjutkan perjalanan dengan sleeping bus antar kota selama 8 jam. Tapi tenang saja, saat ini Bandara Buntu Kunik Toraja sudah beroperasi.
Dan inilah ceritaku yang saat ini masih terjebak rindu pada magisnya Toraja. Entah karena aroma adatnya atau alamnya atau kopinya yang nikmat.
Liburan Gratis, September 2017
Perjalanan pertama ke Toraja bermula saat long weekend bulan September 2017. Entah ada angin apa hingga aku ditawari libur oleh bos. Tidak hanya itu, beliau juga memberikan hadiah berupa tiket pesawat dan juga hotel.
“Putri sama Cece pilih aja mau ke mana, tapi hari Senin masuk ya,” tutur beliau.
Sulawesi menjadi destinasi incaran aku dan Cece. Aku yang waktu itu sedang keracunan dengan upacara adat di Toraja mengusulkan pergi ke Toraja.
Sedang si Cece mempunyai usul lain : rugi kalau kita satu minggu cuma di Toraja melihat kuburan aja kata teman ku, jadi kita ke Morowali aja sekalian toh gratis.
Dua hari setelah diperintahkan liburan, kami pun berangkat. Menginap satu malam di Makassar, kemudian berangkat ke Kendari. 3 hari bermain dengan laut Morowali, kami kembali ke Makassar.
Sebagai seorang traveler, kami terbiasa mencari informasi di Google. Jika di Kendari semua perjalanan wisata sudah di handle oleh jasa tour, di Toraja kami mandiri. Berbekal ponsel pintar dan informasi teman.
Kabar dari Google menyebutkan bahwa kami harus ke Terminal Daya Makassar untuk mendapatkan bus ke Toraja. Aku kira naik bus ke Toraja seperti naik bus pada umumnya.
Menunggu di terminal, kemudian mencari bus yang sesuai jurusan dan duduk di kursi yang kosong. Ternyata harus beli tiket di Perusahaan Otobus (PO) dulu.
Kesalahan informasi yang kami dapatkan akhirnya mengantarkan aku dan Cece duduk di kursi paling belakang bus. Kursi ini biasanya menjadi tempat tidur supir bus cadangan.
Padahal kalau kami beli tiket bus, tentu kami bisa tidur nyaman di sleeping bus Makassar-Toraja. Setiap kursi di sleeping bus ini dilengkapi dengan bantal dan selimut. Cukup nyaman untuk membunuh waktu 8 jam perjalanan.
Sekitar pukul 06.30 pagi, aku sampai di pemberhentian bus Rantepao. Saat aku dan Cece turun dari bus, ada banyak supir becak motor menawarkan jasa.
Usut punya usut becak motor ini merupakan salah satu transportasi khas Toraja. Di sini becak motor itu bernama “sitor”, taksi motor.
Rentetan kalimat dalam bahasa Toraja yang baru pertama kali aku dengar membuat kebingungan. Mereka yang melihat pun pasti tau kalau aku dan Cece baru pertama kali ke Toraja.
Toraja dalam 12 Jam
Perjalanan kami di Toraja baru dimulai saat sepeda motor yang kami sewa datang. Signal handphone yang timbul tenggelam menjadi kendala kami waktu itu.
Akhirnya aku mencoba untuk minta tolong om rental motor untuk membuatkan denah dan rekomendasi wisata di Toraja. Om rental motor memberikan pesan : nanti pas di jalan tanya saja dengan warga sekitar, masyarakat Toraja ramah kok.
Alhamdulillah 12 jam di Toraja berjalan dengan lancar. Aku dan Cece juga berhasil mengunjungi beberapa destinasi wisata seperti :
- Ke’te Kesu
- Lemo
- Kalimbuang Bori’
- Batutumonga (hamparan sawah cantik)
- Lo’komata
- Jak Koffie
- The House Coffee
Ma'nene Pangala', Agustus 2018
Ternyata 12 jam di Toraja tidak cukup. Masih ada perasaan ‘kurang’ yang membuat aku harus kembali ke Toraja. Namun, sejujurnya aku pesimis. Jauhnya jarak dan membayangkan traveling ke Toraja sendiri, sepertinya bukan pilihan tepat.
Tapi setelah sebuah pesan masuk di aplikasi chat Line, seketika seperti Tuhan sedang memberi jalan untuk kembali ke Toraja. Menyelesaikan apa yang aku mulai dan menggali beberapa informasi untuk aku tulis di blog.
Jadi saat aku pulang dari Toraja kemarin, nggak sengaja kenalan dengan orang Toraja di dalam bus. Dia menyapa karena “Jak Koffie” (sekarang berganti nama menjadi Djong Koffie). Ah nama coffee shop ini tentu sudah aku catat dalam sejarah perjalanan aku ke Toraja.
Pesan singkat yang awalnya hanya sekadar kata ‘halo’ berganti dengan informasi upacara adat mayat berjalan atau ma’nene’. Upacara adat ini termasuk langka dan hanya diselenggarakan setiap 3 tahun sekali.
Awalnya aku cukup ragu. Terlebih saat melihat video di YouTube tentang upacara adat ma’nene. Pertanyaan siap atau nggak siap ke Toraja sendirian dan bertemu mummy terus terngiang.
Tapi semua ragu itu sirna saat akhirnya aku menginjakan kaki lagi di Toraja pada Jum’at pagi 23 Agustus 2018. Tenang, kali ini aku sudah memesan tiket bus.
Upacara adat ma’ne’ ini dilaksanakan di Desa Pangala’. Awalnya aku cukup deg-degan. Apalagi saat satu persatu peti dikeluarkan dari patane.
Berasarkan penelusuranku saat menghadiri upacara adat ini, sebenarnya ma’nene’ tidak hanya menyimpan cerita magisnya Toraja. Tapi bagaimana cara orang-orang Toraja sangat memuliakan leluhur mereka.
Jika kalian menghadiri upacara adat ini tentu kalian akan merasakan bagaimana haru saat bertemu orangtua atau nenek kalian yang sudah meninggal dan merasakan harmoni toleransi di Toraja.
Terjebak Harmoni Toleransi di Landorundun
Ternyata kalimat om rental motor dulu tidak salah. Orang Toraja itu ramah. Bahkan mereka mempunyai toleransi yang tinggi.
Kemarin saat ke upacara ma’nene’, aku yang seorang muslim disediakan makanan yang halal. Mereka juga menjelaskan menu makanan apa yang mereka sediakan.
Saat ketiga kali aku datang ke Toraja, lagi-lagi rapalan doa ku terkabul. Aku ingin merasakan hidup seperti orang Toraja : tidur di tongkonan, bangun pagi disambut gumpalan kabut, dan menikmati secangkir kopi di tongkonan.
Kali ketiga aku ke Toraja mempunyai tujuan untuk melihat upacara adat rambu solo’. Katanya di Bulan Desember banyak diselenggarakan upacara adat ini.
Berbekal nomor telpon penginapan tongkonan yang diberikan seorang traveler, aku pun berangkat lagi ke Toraja. Saat aku datang, Ibu Sarjani (pemilik penginapan) menyambut dengan ramah.
Beliau langsung mempersilahkan aku masuk ke tongkonan dan memilih kamar. Aku memilih kamar paling belakang. View pegunungan yang dapat dilihat dari kamar tersebut membuat aku langsung jatuh hati.
Setelah istirahat dan menyantap kopi, Ibu Sarjani mengajak aku makan siang. Lagi-lagi aku terpesona dengan toleransi masyarakat Toraja. Sebelum mereka menyediakan makan, mereka selalu bertanya : muslimkah?
Jika kalian mengira ini adalah kali pertama dan terakhir aku menginap di tongkonan Landorundun, maka kalian salah.
Setelah kunjungan bulan Desember, aku kembali lagi ke Toraja. Kali ini aku kabur dari rotasi bumi selama 7 hari. Selama seminggu inilah aku sembunyi di Toraja, tepatnya di rumah Ibu Sarjani.
Serunya lagi, karena aku sendirian ke Toraja, jalan-jalannya di antar oleh beliau. Bahkan aku diajak ke acara keluarga seperti upacara rambu solo dan rambu tuka!
Waktu di upacara rambu tuka, lagi-lagi aku terpesona dengan harmoni toleransi di Toraja. Waktu itu setelah acara ‘temu manten’, dilanjutkan dengan acara makan bersama. Sewaktu aku mau mengambil mie goreng, tiba-tiba seorang ibu-ibu mengambil mienya. Lalu beliau berkata :
Sebentar Putri, saya cek dulu. Takutnya ini pakai minyak yang tidak boleh Putri makan.
Seketika hatiku luluh. Aku sendirian di kota ini, aku orang asing. Tapi begitu dijaga di sini.
Sewaktu aku akan pulang, drama pun terjadi. Suami Ibu Sarjani keberatan. Kata beliau besok seharusnya kami datang ke pernikahan kerabat mereka. Kali ini konsep rambu tuka’nya berbeda. Tapi dengan berat hati aku tetap harus pulang.
Putri akan kembali lagi. Ada rindu yang aku selip di pojok tongkonan ini. Bersama dengan perasaan sedih saat harus pulang
Toraja, Never Ending Story
Ada beberapa teman bertanya : kamu nggak bosan Put bolak balik ke Toraja? Sayangnya hingga detik ini aku belum menemukan titik bosan. Apalagi jika aku ingat bagaimana ramahnya masyarakat Toraja.
Bagi seorang pecinta kopi, Toraja tentu surga kopi. Berbagai kedai kopi sudah aku singgahi di Toraja. Hingga akhirnya indera kopi ku bertemu dengan aroma nikmat Toraja Art Coffee. Bertemu dengan petani kopi dan juga seniman kopi, om Fritz.
Duduk di kedai kopi Om Fritz, mencicip kopi buatan beliau, serta mendengar cerita tentang Toraja dan kopi, membuat aku terhanyut. Lagi-lagi waktulah yang harus memisahkan cerita kami. Rasanya masih ada cerita tentang Toraja yang belum selesai.
Seperti yang sering aku sebut dalam tulisanku tentang Toraja : sebuah perjalanan yang tak kunjung menemui ujung. Karena semakin banyak aku menggali cerita tentang Toraja, maka semakin banyak pula hal yang tidak aku ketahui.
Mungkin sudah banyak tempat yang aku kunjungi di sini. Ada banyak kenangan yang aku titipkan disetiap bangku kedai kopi yang aku singgahi dan juga aku sudah banyak punya teman di sini. Bahkan jika kalian meminta rekomendasi tempat wisata di Toraja, aku akan punya banyak list tempat wisata yang tidak akan cukup kalian kunjungi dalam satu minggu.
Jika Aku ke Toraja Lagi
Jika aku memutar kembali timeline kunjungan ke Toraja, sepertinya perjalanan ini sangat panjang tapi sekaligyus terasa singkat. Bak potongan puzzle yang harus dilengkapi. Karena setiap bagian perjalanan ke Toraja selalu meyimpan cerita yang berbeda tapi saling melengkapi satu sama lain.
Masih ada bebeberapa rencana yang belum teralisasi hingga saat ini. Jadi jika aku ke Toraja lagi aku harus menyelesaikan misiku.
1# Mendaki Gunung Sesean untuk melihat perkebunanan kopi Toraja
Process means everything. Begitulah seharusnya dunia kopi dipandang. Toraja merupakan salah satu daerah penghasil kopi terbaik di dunia. Bahkan kopi Toraja yaitu Sapan mendapat julukan Queen of Coffee.
Kecintaanku pada kopi 3 tahun belakang ini telah mengantarkan aku pada banyak petualangan. Bahkan cerita tentang Toraja tidak bisa lepas dari kopi. Andai waktu itu aku tidak ke Jak Koffie, muyngkin aku tidak akan berkenalan dengan orang Toraja dan kembali ke Toraja untuk kedua kalianya.
Kopi juga yang membuat aku duduk santai dengan bapak-bapak TNI dan perangkat daerah di Kampung Ollon. Kopilah yang membuat aku bertualangan di Toraja.
Jadi tidak salah bukan jika aku ingin melihat proses kopi di Toraja tidak hanya di depan meja bar sebuah kedai kopi, tapi juga perkebunan kopinya.
Rasanya aku ingin mengucapkan : terimakasih petani kopi, karena kalian aku bisa ngopi enak di rumah.
2# Pentas Seni Toraja
Sebagai kota dengan kekayaan adatnya, tentu Toraja tidak bisa lepas dari seni. Aku sempat melihat pentas seni saat pembukaan Pasar Hutan Bambu To’kumilla. Tapi rasanya masih ada yang kurang.
Mungkin kurang lama? hehehe. Ah bukan hanya itu, tapi saat pentas seni kemarin aku merasa kurang mendapatkan informasi.
Jadi jika nanti aku ke Toraja lagi, tentu aku ingin melihat lagi pentas seninya. Tidak hanya itu, aku juga akan mencari tau asal usul atau cerita di balik kesenian tersebut. Lalu akan aku tuangkan di blog.
Sepertinya aku akan panen tulisan!
3# Sharing tentang Menulis
Toraja adalah ‘negeri di atas awan’ yang kaya. Ada banyak cerita di dalamnya yang seharusnya bisa diceritakan secara luas bukan hanya oleh traveler seperti aku. Tapi juga dari masyarakat ‘Solata’ nya langsung.
Jangan sampai cerita yang disimpan itu akan hilang karena si pencerita menua dan meninggal. Harus ada anak-anak atau remaja yang menceritakannya di dunia digital. Dan aku ingin berbagi tentang literasi digital seperti membuat blog dan cara bercerita di blog agar cerita tentang Toraja ini tidak hilang.
Siapa tau dari tulisan mereka akan mendatangkan banyak petualang baru ke Toraja.
4# Toraja Highland Festival 2021
Sebagai pengejar konten tulisan, tentu nggak bisa melewatkan event di suatu daerah bukan. Termasuk kemarin saat aku menghadiri Grand Opening Pasar Hutan Bambu To’kumilla Toraja.
Bulan depan, di Toraja ada event seru yang wajib kalian datangi. Toraja Highland Festival! Kegiatan ini diselenggarakan oleh Masyarakat Sadar Wisata (MASATA) Toraja dan Geopark Toraja.
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan menggeliatkan kembali pariwisata di Toraja dengan melibatkan masyarakat dan desa. Masyarakat sejatinya merupan penggerak utama pariwisata. Sedangkan desa adalah pusat pertumbuhan dalam upaya pemulihan ekonomi daerah khususnya dan nasional pada umumnya disaat pandemi seperti sekarang.
Toraja Highland Festival 2021 ini akan diselenggarakan pada tanggal 12-18 Juli 2021. Acara ini punya rangkaian kegiatan seru seperti lomba tari tradisional, musik tradisionalvlog, fotografi, dan juga lomba blog. Serta tidak ketinggalan juga ada Torajazz!
Kesimpulan
Bagiku, Toraja adalah kota yang ceritanya tidak akan pernah usai walau kalian sudah tinggal di sana satu bulan. Walaupun kalian sudah mengunjungi kuburan tertua di sana atau sudah menyaksikan upacara adatnya.
Jadi Toraja tidak hanya sekadar bercerita tentang kuburan dan mayat saja. Ada banyak sisi Toraja yang akan membuat kalian jatuh cinta jika kalian mengunjungi kota ini. Terlebih jika kalian menyukai wisayta alam dan kopi.
Ah tentu saja perpaduan semua unsur tersebut akan membuat kalian betah dan akan merindukan kota ini saat pulang.
PS
Segera ‘pulang’ ke Toraja

aku terkesima membaca ceritanya mbak put, tampilannya post ini juga bikin betah untuk baca.
Aku paling takjub dan kaget itu pas denger cerita tentang Ma’nene’ ini. Temanku yang orang Toraja bilang, mereka harus bekerja keras untuk mati mereka. Karena ingin mati secara terhormat dengan melakukan proses Ma’nene’ ini.
Ya, ampun semoga nanti kesampean yang mbak untuk naik ke gunung Sesean. Thanks untuk cerita tentang keindahan Toraja ini mbak put. Sehat selalu yaa…
oh mungkin maksudnya rambu solo mba. karena rambu solo’ bisa sampai milyaran rupiah
ma’ nene’ ini setau saya biayanya gk fantastis. dan bisa patungan beberapa keluarga yg makamnya akan dibuka dan di upacara ma’nene’
aamiin mba
pengen nih ke sesean hehehe
Bener-bener jatuh cinta sama Toraja ya, gak akan bosan untuk kembali lagi ke san adan menuliskan perjalanannya di blog. Duh kapan aku bisa ke Toraja juga ya.
Asyik banget ke Toraja pertama ditawarin si boss, baik banget. PIngin deh mengenal Toraja juga dari dekat
Sempet beberapa kali baca postingan temen tentang keseruan Toraja, udah merinduuuu. Terus baca tulisan ini, jadi beneran wish list banget buat destinasi setelah pandemi. TErkenal dengan Rambu Solo’, juga bagian incaran kalau mau ke Toraja. Nabung duluuuu.
Rupanya hampir setiap wilayah punya adat istiadat yang mirip ya. Hanya namanya saja yang berbeda. Eh tapi mungkin konsepnya juga berbeda, tapi tujuannya tetap sama, yakni sama-sama bersyukur atas nikmat yang telah Tuhan berikan.
Wah asyik sekali bisa datang dan melihat langsung adat Toraja. Sementara saya hanya bisa melihatnya lewat internet atau youtube saja, hehehe… SEmoga saja suatu saat nanti, saya juga bisa ke Tana Toraja, aaamiiin…
Bersyukur banget Mbak Put udah pernah ke Toraja. Kalau saya masih wish list dan berharap pandemi segera usai biar bisa eksplor Indonesia bagian timur. Nggak sabar pengen ke Sulawesi, Maluku, NTT dan Papua.
Toraja juga sedang kurindukan..kangen sama pemandangan indahnya..dan atraksi budayanya.. Semoga bisa kesana lagi suatu saat nanti.. Jadi pengen ikutan Festival Highland nya
Toraja emang terkenal karena kesan mistisnya ya. Aku dulu baca di majalah Bobo tentang Toraja ini dan… suka serem sendiri. Padahal tak semuanya menyeramkan ya.
Toraja emang ga ada matinya ya, Kak. Pesonanya selalu memikat wisatawan domestik maupun mancanegara. Adat istiadat setempat sangat layak dijunjung tinggi dengan merawatnya. Aku iri banget Putri bisa pelesiran ke kebun kopi, wah mupng berat. Kalau bisa ke Toraja, pengin ke Kaana Toraya Coffee dan Agrowisata Pango-pango. Menikmati wisata yang segar….
Salah satu destinasi wisataa yang masuk wishlistku juga nih kak. Katanya ngga perlu mati dulu kalau mau lihat surga, karena Toraja punya itu. Jadi bangga banget deh meskipun jauh dari pulau saya 😀
Iya ya kalau Toraja itu untuk upacara kematian bisa ratusan juta hingga milyaran. Karena memang tradisinya unik dan perlu di budayakan. Hmm.. tapi aku penasaran, apakah di masa pandemi seperti ini dengan perekonomian yang cukup pas-pasan tetap mengadakan upacara tersebut?
Foto yang di header aku itu baru loh mba. dari teman fotografer di sana
acaranya gede
mungkin masih tetap dengan biaya fantastis. sebentar ya aku terbang dulu ke Toraja buat konfirmasi hehehe
Tana Toraja atau Tator memang memberi daya pikat yang luar biasa, Mbak. Jadi sekali ke sana, bisa ingin lagi. Dan seru nih, perjalanannya Mbak Putri. Saya jadi kepengin ke Makassar, lalu lanjut ke Toraja hehehe.
Mudik mudik pak bams hehehe
Yuk ke Toraja hehehe
ah iya
Toraja ini termasuk wishlist travelingku nanti
emang Toraja punya daya tarik tersendiri
semoga bisa segera ke Toraja
Toraja yang luar biasa.
Kebudayaannya dan ragamnua bikin pengen menjelajah juga mbak. Semoga ada rejeki ke sana aamiin
Rambu Solo’ ini sepertinya sangat menarik. Bisa jadi bahan tulisan lengkap kalau seluruh prosesnya dijadikan bahan riset. Menarik juga untuk diangkat menjadi latar cerita fiksi. Apalagi sudah ada legenda di balik ritual ini kan? Tinggal kumpulin bahan dan mainkan saja, Mbak, hehe.
huaaaa iri banget pengin juga ke toraja. suka seneng lihat temen-temen unggah foto lagi di toraja. da aku mah paling mentok juga serang serang terus wqwqwq.
Tana Toraja ternyata banyak ya tempat wisatanya. Saya pengen lihat rumah adatnya yang unik dan upacara adatnya yang menarik dan mengandung magic. Kpn2 deh pengen ke Tana Toraja.
saya pernah kesana pas masih kecil. kebeulan memang tinggal di Makassar. Yah saya malah nangis2 pas ke kuburan di tebing itu.
neng lipp bacara tulisanmu, jadi kangen pengen balik lagi ke Toraja, saya ke sana tahun 2013 entahlah pastinya sekarnag makin banyak destinasi wisatanya, dan ceritanya sangat menarik buat saya Mba Put, keren, semoga bisa berkeliling ke Toraja lagi
Rasanya lepas dari PPKM ini mau jalan” untuk refreshing otak agar bisa melihat dunia luar itu sangat indah dan banyak tempat yg harus dikunjungi
Wah, jatuh hati sama Toraja ya mba. Mungkin kalau aku pernah ke sana juga bakalan sejatuh cinta itu ya Mba. Pingin banget one day bisa ke Toraja dan lihat budayanya, lihat orang orangnya. Apalagi tempatnya juga indah banget ya Mba
Ini udh lama jadi bucketlistku mbaaa. Pengen banget ke Toraja dari dulu. Pengen liat upacara adatnya yg terkenal itu. Mungkin nanti setelah pandemi ini membaiklah, secara blm ada tanda2 kapan bisa traveling ke LN lagi, jadi aku mau sesekali nyobain yg dalam negeri 😀