Anak-anak suku bajo | Dok Pribadi |
Lilpjourney.com | MOROWALI – Terik matahari siang menyapa kedatangan kami, rombongan trip Labengki Sombori. Suara riak air diikuti oleh gelak tawa suara anak-anak Suku Bajo turut menyambut kedatangan. Mereka, anak-anak suku bajo itu berumur 3-6 tahun, tanpa rasa takut bergumul dengan air laut yang jernih di depan rumah mereka. Rambut mereka coklat kepirangan, kulit mereka eksotis dan tawa mereka renyah.
Hot Cappucino | Dok Pribadi |
- Baca Juga : Desa Adat Landorundun Toraja
Office Coffee, September 2017.
“Halo mas, ope trip ke Sambori Labengki 3 hari 2 malamnya masih ada nggak? untuk dua orang”.
Saat itu gw langsung gercep cari open trip ke Sombori-Labengki. Berselancar melalui tagar instagram akhirnya, gw nemu open trip yang masih ada space untuk gw dan cece. Adakah yang lebih menyenangkan dari pada keluar rutinitas kantor yang padat dan berlibur di pulau nan jauh dari hiruk pikuk kota, tanpa signal, tanpa listrik. Hehehe.
Mungkina nama Sombori-Labengki belum seterkenal Wakatobi, walaupun mereka sama-sama di Sulawesi. Dan sebenernya gw bingung nulis letak dari dua pulau ini. Sombori sendiri, menurut info google maps, terletak di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Sedang Labengki terletak di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Jadi, ketika kalian kesini, menurut google maps, kalian telah berpetualang di dua Provinsi. Hehehe. Dan rata-rata paket open trip memang berjudul : Pesona Pulau Sombori-Labengki.
- Baca Juga : Bukit Batas ‘Raja Ampat’ Kalimantan Selatan
Kendari, September 2017
Setelah menghabiskan satu malam di salah satu hostel di Kendari, pagi jam 08.00 waktu setempat kami di jemput mas Bayu, guide open trip kami, untuk ke dermaga penyeberangan ke Sombori-Labengki. Beruntungnya gw sama cece, temen-temen satu grup open trip kami itu nggak ada yang jaim dan suasananya pecaaaaah banget, jadi 4 jam perjalananpun berjalan seru. Honestly ini pertama kali kami ikut open trip sih.
Ini grup OT kaya gado-gado, campur-campur gitu. |
Sombori-Labengki, September 2017
Namanya Sombori-Labengki, Sulawesi. Kecil dan indah. Jauh dan seru. Sederhana dan hangat. Begitu gambaran saat pergi kesana dan berinteraksi dengan warga suku bajo yang menjadi penduduk asli pulau ini.
Pemukiman suku bajo. |
Bercengkrama dengan Suku Bajo
Tempat pertama yang kami kunjungi setelah perjalanan membelah lautan bak ‘marcopolo’, adalah perumahan Suku Bajo Labengki Kecil kalau tidak salah. Hal pertama yang kami lakukan saat sampai disini adalah mencari toilet. Hehe. Setelah membelah laut, ternyata kami masih berwujud manusia. Hahaha. Walaupun kami singgah tak lama, tapi disini adalah titik pertama kami berkenalan dengan keramahan penduduk suku bajo. Disinilah awal naluri kami diketuk. Saat melihat mereka yang begitu bahagia, seolah tanpa beban, dengan segala keterbatasan fasilitas. Tanpa listrik. Ya. Disini listrik hanya jalan ketika malam. Itupun dengan genset.
Saat itu gue pernah nanya kesalah satu penduduk, bagaimana peran pemerintah terhadap mereka, takutnya kan mereka nggak tersensus, secara mereka hidup ditengah laut, dan suku bajo sendiri terkenal dengan hidup nomaden. Beliau mengatakan, masih sebatas janji pemilu. Pilu memang, tapi begitulah adanya. Semoga kelak, dipemerintahan yang mendatang, mereka akan merasakan indahnya menjadi bagian dari NKRI, setidaknya, fasilitas pendidikan dna kesehatan yang lebih baik.
Hei kamu gadis cantik yang tengah berdiri di atas sampan tanpa gentar! Kelak jika kau beranjak dewasa, dan dunia seolah menyakitimu, tenanglah, karna semua akan baik-baik saja pada waktunya. |
Pantai Pasir Panjang dan Rumah Suku Bajo
Setelah puas bercengkrama dengan warga sekitar, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai pasir panjang. Dipantai ini kalian bakalan dimanjakan dengan pantai pasir putih yang membentang indah dan pohon kelapa yang berjajar rapi mengelilingi pulau.
Nah di pantai pasir panjang ini, ada batu besar yang bisa kalian daki untuk melihat view dari ketinggian. Tapi be careful yang guys, karena permukaan batu ini runcing. Salah-salah bisa menyobek baju kalian. Setelah puas mengambil foto, berenang dan memanjat, saatnya pulang ke ‘rumah’!!!
Nah, kalian pasti bertanya-tanya, diamana kami bermalam selama Open trip Sombori-Labengki 3 hari 2 malam ini. Sesuai paket open trip yang kami ambil, kami bermalam di pemukiman suku bajo. Wah, sensasinya dapet banget. Jadi yaaa anggap aja ‘rumah’. Bermalam di rumah warga, makan malam ikan laut segar, dan bercengkrama dengan para pelancong memang menjadi momen yang paling dirindukan ketika berada di dunia nyata seperti sekarang. Selain listrik yang ada hanya ketika malam hari, air bersih disini juga terbatas. Untuk keperluan mandi kalian harus beli air bersih, harganya untuk satu jerigen ukuran 5 liter Rp 5.000,-. Jadi gimana? Masih mau buang-buang air, berboros-boros menggunakan listrik?
Aku rindu! Rindu pada semua kesederhanaan disana. Saat para generasi penerus tak disbukkan dengan ig story dan asik bercengkrama dengan alam. Hei! Kabar kalian baik-baik saja kan? |
Pagi di Perkampungan Bajo
Pagi pertama di pemukiman suku bajo ini disambut dengan anak-anak suku bajo yang tengah asik bermain di atas kapal. Mereka bahagia dengan kedatangan kami para saudara jauh mereka. Bagi anak-anak suku bajo, laut adalah rumah kedua mereka, laut adalah sahabat mereka. Wajar saja kalau suku bajo dikenal mempunyai kemampuan menyelam alami tanpa alat bantu yang sangat lama. Bahkan peneliti menyebutkan mereka mempunya sistem pernafasan yang berbeda dari orang normal.
Tujuan perjalanan hari ini adalah rumah nenek, laguna dan icon dari pulau ini sendiri ‘miniatur Raja Ampat’.
Nek, apa kabarmu? Semoga kau selalu sehat. |
Rumah nenek |
Icon Labengki-Sombori : Sombori Hills |
Hei! Terimakasih menjadi teman perjalanan yang keren! Pantai Koko |
Dan hari terakhir, seharusnya kami ke teluk cinta, tapi sayang hujan badai menerjang pagi itu hingga pukul 08.00 wita. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung pulang ke Kendari.
Terjebak Pesona Laut Sulawesi di Trip Sombori Labengki
Andai selamanya, atau setidaknya lebih lama, pasti seru. Setiap hari melihat matahari terbit di lautan, melihat senja menarik cahaya orange menuju ungu yang akhirnya tenggelam dalam gelap dan taburan gemintang
memanjakan mata.
Jadi Gimana? Masih sesulit itukah untuk bersyukur? Sedang mereka yang ada disana, listrik tak ada, signal HP apalagi, internet? Jangan di tanya. Jangankan yang berbau teknologi seperti itu, buah dan sayur adalah
makanan langka disana. Tapi Tuhan itu baik, mereka masih bisa menikmati hasil alam dari laut berprotein tinggi.
Kalau hidupmu masih tak kunjung membaik, coba sesekali keluar dari rutinitas dan perhatikan sekitar. Bisa jadi lelah dan keluhmu adalah harapan bagi orang yang ingin sepertimu. Dan pada akhirnya bahagia itu bukan tentang seberapa banyak materi yang kita punya, tapi bagaimana ‘cukup’ mampu membuat kita bersyukur.
banget kaaaak. makanya pengen balik lagi kesana. hehehe