Alang Tongkonan Kale Landorundun | Dok Pribadi |
Legenda Putri Landorundun
Lilpjourney.com | TORAJA – Dahulu kala ada seorang putri bangsawan yang tinggal di sini, namanya Putri Landorundun. Bak Putri Rapunzel, Putri Landorundun memiliki paras rupawan dengan rambut panjang yang indah. Kata mama Sarjani, berdasarkan cerita turun-temurun, panjang rambut sang Putri Landorundun mencapai 300 jengkal atau 17 depa. Suatu saat sang Putri Landorundun sedang mandi disungai, lalu ada sehelai rambutnya yang putus kemudian terbawa arus sungai.
Singkat cerita helaian rambut Putri Landorundun ditemukan oleh Raja Bone. Sang Raja Bone yang penasaran dengan keindahan rambut itupun melakukan penelusuran untuk mencari pemilik rambut indah tersebut. Sampailah sang raja di Gunung Sesean dan menemukan pemilik rambut indah itu adalah seorang gadis yang cantik. Raja Bone yang telah jatuh hati kepada sang putri kemudian melamarnya. Kata mama Sarjani beberapa cerita mengatakan bahwa pinangan sang raja tak serta merta diterima oleh sang putri. Hingga akhirnya sang raja yang mengetahui Putri Landorundun suka sekali dengan buah mangga, memutuskan menjebak sang putri dengan cara menanam mangga di dekat sungai tempat sang putri biasa mandi. Ketika mangga itu berbuah, sang putri memetiknya dan Raja Bone yang telah mengintai mengatakan bahwa itu adalah mangga yang ia tanam. “Kenapa kau mencuri mangga ku? Kau harus menikah dengan ku”. Lalu menikahlah Putri Landorundun dan Raja Bone.
Sebelumnya, disini (komplek Tongkonan Kale Landorundun) pernah ada batu dengan bekas tapak tangan. Katanya tapak tangan tersebut milik ibu dari Putri Landorundun yang hendak melahirkan saat jalan-jalan menyusuri desa. Namun sayangnya ketika pembersihan area tongkonan, batu tersebut entah dipindah kemana atau hancur – tutur Mama Sarjani.
SELALU ADA ‘KARENA’ UNTUK KEMBALI
Sekali lagi, kenangan itu berhamburan, tentangmu. Tepat pukul 6 pagi, Kamis, 21 Maret 2019, sleeping bus yang gue tumpangi memasuki Tana Toraja, untuk ke li ma ka li nya. Satu kota yang (sebenarnya) terlalu jauh dari rumah tapi selalu memberikan kejutan dan kerinduan. Membawa misi “menemukan arah pulang”, berbekal izin menelusuri sekolah di pelosok, gue berangkat menelusuri sisi lain Toraja. Meninggalkan hiruk pikuk Kota Banjarmasin dengan label manusi “nine to five”, menenteng ransel merah jambu, beralas converse putih serta tas tempur berisi laptop dan kamera, petualangan kali ini ternyata bukanlah akhir. Karena rindu itu masih tersisa. Terlebih saat cerita sang rapunzel “Putri Landorundun” mulai menarik untuk ditelusuri.
Rantepao, 6:00 am
Sitor Rantepao | Dok Pribadi |
“Mau kemana ji?” tanya sopir sitor, salah satu transporasi khas Kota Rantepao
Sehari sebelum berangkat ke Toraja, terlebih dahulu gue menghubungi mama Sarjani (pemilik Tongkonan Kale Landorundun). Beliau mengarahkan untuk singgah ke rumah adik beliau di Rantepao, ibu Debora. Di rumah Ibu Debora, gue disambut dengan hangat. Secangkir kopi tersaji dan perbincangan singkatpun mengalir. Tidak jauh berbeda dengan mama Sarjani yang berprofesi sebagai Kepala Sekolah SDN 8 Tikala, Ibu Debora merupakan penanggung jawab dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sinar Kasih, sebuah lembaga sosial masyarakat dibidang pendidikan yang mempunyai cakupan kegiatan Kejar Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA) dengan Akreditas B dimana pelaksanaan kegiatannya diawasi oleh Dinas Pendidikan. Sebagai PKBM, di rumah beliau juga terdapat deretan meja komputer yang biasanya digunakan untuk belajar para peserta didiknya.
Rantepao, 7:42 am
“Janji apa ya?” balas om kura-kura dikolom chat instagram.
Janji, akhir bulan Maret akan datang ke Toraja, jawabku. Dan beberapa chat random dimulai hingga akhirnya kita ngopi bareng, di Jak Koffie. Satu tempat yang selalu menjadi alasan kita bertemu. Aku masih rindu pada sosokmu, terlebih pada tatapan mata tajammu. Sampai akhirnya kita benar-benar berpisah. Tapi liburan baru dimulai Putri! Hahaha. Pukul 1 siang gue memutuskan untuk berangkat ke Tongkonan Kale Landorundun menggunakan ojek. Jangan lupa misi “menemukan arah pulang”!
Landorundun, 1:35 pm
Ada rindu yang aku selipkan disini | Dok pribadi |
Rindu. Hanya satu kata itu yang mampu terucap. Naik ke tongkonan, meletakkan ransel merah jambu dengan rapi di pojok kamar, mengeluarkan kamera serta action cam, mengenakan topi dan terakhir sendal gunung. Petualangan hari pertama pun di mulai!
Euforia itupun membuncah. Hingga akhirnya, sejanak lupa pada sosokmu. Turun dari area tongkonan, berjalan kaki menelusuri Desa Landorundun : pohon kopi yang sedang berbuah lebat (mungkin 2-3 bulan lagi sudah siap panen), gongongan anjing yang memaksa berjalan lebih cepat dan akhirnya terjebak di hamparan sawah yang hijau. Oh Allah, lalu nikmat-Mu yang mana yang mampu aku dustakan. Ternyata 24 jam di bulan Desember 2018 telah menjebak gue pada 5 x 24 jam di bulan Maret 2019. Ya, kali ini gue akan tinggal di Desa Landorundun selama 5 hari. Impian gue pun terwujud.
Om Fyant, aku pengen dong ngerasain jadi orang Toraja. Tidur di tongkonan, minum kopi di tongkonan dan berinteraksi lebih dekat dengan warga disini – pintaku saat pertemuan kita di bulan Agustus 2018.
Petani Toraya | Dok pribadi |
Saat tiba di area persawahan, para ibu-ibu sedang menanam padi. Andai nggak pake celana jeans, gue udah nyemplung ke sawah dan ikut nanam padi. Setelah meminta izin untuk mengambil gambar, beberapa video dan foto kegiatan menanam padipun terekam sempurna dalam memori. Para ibu-ibu disini sangat ramah. Mereka tersenyum dan mengatakan agar berhati-hati ketika berjalan dipematang sawah.
Pemandangan ini cantik sekali. Para baine Toraya (perempuan Toraja) dengan keramahannya. Mungkin ini serpihan cerita Putri Landorundun Toraja.
Desa Penuh Pesona
Melanjutkan perjalanan menelusuri desa, sampailah gue di perkebunan kopi. Bisa bayanginkan bagaimana bahagianya seorang penikmat kopi menemukan kebun kopi yang sedang berbuah lebat. Entah berapa banyak foto dan video yang gue ambil saat itu. Yang pasti hanya 1-2 foto saja yang akan bertengger di feeds instagram. Hahaha.
Di seberang kebun kopi ada batu besar. Sepertinya seru untuk dinaiki dan duduk santai disana. Oke, gue bisa naik tapi nggak tau caranya turun. Hahaha. Dengan usaha penuh nekad, sambil berhati-hati membawa kamera, terjunlah Putri. Sayangnya langit sedang tak bersahabat kala itu. Satu dua tetes air mulai turun. Gue pun lekas bergegas kembali ke tongkonan.
Ternyata mama Sarjani sudah pulang dari pertemuan di Kota Rantepao. Beliau menghidangkan secangkir kopi tanpa gula. Ternyata beliau masih hafal dengan kopi kesukaanku. Padahal bulan Desember kemarin hanya menginap satu malam. Setelah menghidangkan kopi, beliau kembali sibuk di dapur, menyipkan makan siang. Nasi merah, telur dadar daun bawang dan sayur pepaya tersaji. Bukan beliau tak bisa menghidangkan makanan lain seperti ikan, tapi beliau tau dan masih ingat kalau Putri dari Banjarmasin nggak bisa makan ikan. Hehehe.
Senang melihat Mama Sarjani dalam keadaan sehat. Satu jejak cerita Putri Landorundun Toraja akan terdongeng langsung.
Jum’at, 22 Maret 2019
Rambu Solo’ Alm. Paulus Pong Busa | Dok pribadi |
Pukul 7:00 am Pak Lembang, suami mama Sarjani (kedepannya gue panggil ‘papa’) sudah menunggu. Kami berangkat ke rumah duka Alm. Pak Paulus Pong Busa. Hari ini akan dilaksanakan pemotongan kerbau dan prosesi terakhir dari upacara adat Rambu Solo’ yaitu prosesi pa’kaburusan. Nahasnya, tiba-tiba iPhone gue error, kamera mirrorless gue kehabisan baterai dan alhamdulillah masih ada action cam. Nyaris saja terlewatkan dokumentasinya.
Pemakaman
Kata papa jenazah akan dikuburkan di lo’ko dekat rumah pada sore hari, jadi kami pulang dulu dan mengantarkan mama ke sekolah. Tapi, akhirnya malah ikut sekolah. Hehehe. Anak-anak yang tumbuh tanpa gadget disini memang punya sisi menggemaskan yang berbeda. Mereka kerapkali tersipu malu saat gue merekam mereka yang sedang bermain, ada yang berjalan mengikuti kemana gue pergi, lalu ada juga yang meminta di foto. Aku bahagia.
Kakak, nama kakak siapa? dari mana? rambutnya kenapa warna hijau? – tanya mereka polos.
Love you more | Dok Pribadi |
Diberondong ternyataan bertubi-tubi gue cuma berdoa, semoga generasi ini tumbuh menjadi sosok-sosok cerdas baik akademik maupun non akademik. Menjadi anak bangsa yang akan mengharumkan bangsanya. Karena merekalah harapan bangsa. Bukan gue yang sudah satu perempat abad ini, tapi mereka! Mereka yang kelak akan menjadi penentu bangsa ini 10 tahun ke depan.
Dik, pesan kakak tumbuhlah dengan kuat dan bahagia. Belajar yang tekun agar kelak kamu bisa menjadi kebanggan keluarga. Kejar cita-citamu karena tak ada yang mustahil selama kau berusaha dan percaya bahwa Tuhan selalu mendengar. Kalau kelak gagal, percayalah Tuhan telah menyiapkan rencana indah lainnya.
Kepolosan anak-anak disini bener-bener bikin gue tambah jatuh cinta dengan kota ini. Bukan gue yang menginspirasi mereka, tapi sebaliknya. Mereka yang bikin gue termotivasi untuk belajar lagi. Apalah artinya materi tanpa ilmu, berjalan tanpa bekal ilmu dan perjalanan tanpa menebar kebaikan. Pada akhirnya gue sadar bahwa gue belum punya bekal apa-apa untuk dibagi kemereka. Gue masih perlu belajar.
Bersama Pak Simon, salah satu pengajar di SDN 8 Tikala | Dok pribadi |
SDN 8 Tikala
Setelah bermain dan berselfie, gue kembali ke ruangan guru. Disana para guru mungkin sedikit terheran dengan penampilan gue yang ‘nyeleneh’ hehehe. Tapi mereka tetap ramah. Berdiskusi tentang : sebagiknya sekolah ini bagaimana ya biar pendidikannya semakin baik, apalagi mau akreditasi. Akhirnya gue sepakat membuat sebuah video profil sekolah untuk SDN 8 Tikala. Tanpa profit. Pure karena gue memang suka dan mungkin ini bisa membantu sekolah mama kedepannya.
Tiba saatnya pulang sekolah. Gue kira papa bakalan jemput, ternyata mama ngajakin jalan kaki keliling kampung. Gue tuh langsung kaya terbang gitu. Seneng banget! Tapi jujur ya mikir juga sih : jauh banget. Sepanjang jalan mama cerita banyak hal, salah satunya tentang keprihatinan beliau dengan pendidikan disini yang dirasa masih tertinggal dari sekolah lain. Kualitas guru yang terus ditingkatkan pun dirasa belum cukup kalau sarana belum menunjang. Tapi disamping sarana, peran serta masyarkat juga sangat diperlukan. Terutama kesadaran untuk menjaga sarana sekolah. Karena beberapa sarana sekolah (sapu, bak sampah) ada yang diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi sebenarnya dunia pendidikan itu cakupannya luas. Tidak terkotak hanya disekolah, tidak sebatas guru dan murid. Tapi edukasi dilingkungan masyarakat juga diperlukan.
Berbaur dengan Warga
Setelah 1 km berjalan menyusuri jalan yang kiri-kanan jalannya terdapat bambu dan pohon kopi, kami sampai disalah satu rumah keluarga mama Sarjani. Saat itu, di rumah keluarga mama Sarjani ini sedang sibuk mempersiapkan makanan untu dibawa ke acara Rumbu Tuka’ pernikahan. Nah, disini kalau ada saudara yang menikah, para keluarga akan gotong royong membawa makanan untuk dihidangkan di acara pernikahan. Bisa dibilang kadonya?
Seperti yang saat ini dilaksanakan. Karena acara pernikahannya besok, jadi mereka sedang sibuk memasak makanan. Salah satu menu yang biasa tersaji adalah pa’piong. Dua ekor babi sudah disembelih. Para laki-laki sedang memotong-motong babi yang akan dibumbui dengan bawang putih, bawang merah, jahe dan garam, kemudian dimasukan kedalam bambu. Bambu yang sudah berisi babi itu kemudian akan di bakar. Itulah yang dinamakan pa’piong. Tak hanya babi, pa’piong juga bisa berisi ikan mas dan ayam. Karena orang Toraja, paham betul bahwa saudara muslimnya tak bisa makan babi.
Toleransi
Waktu itu, ada seorang warga yang menawari mama Sarjani untuk singgah dan akan dibakarkan pa’piong. Dengan sopan beliau mengatakan kalau gue muslim. Dan akhirnya secangkir kopilah yang tersaji. Percakapan hangat pun terjalin mesra.
Putri kapan pulang? Nanti main kesini lagi ya. Nginap disini – tutur salah satu warga.
Setelah tenaga kami pulih untuk melanjutkan ‘petualangan’ keliling desa dari sekolah yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah mama Sarjani, kamipun melanjutkan perjalanan. Ah segar banget jalan di pegunungan, nggak kerasa capeknya. Paru-paru rasanya penuh udara segar. Eiitts kata siapa nggak capek? Hahaha. Setelah menyusuri jalan menurun, kali ini giliran tanjakan ke Hutan Bambu To’kumilla Toraja. Kemarin, Desember 2018, gue kesini naik motor. Sekarang? Jalan kaki! Nggak nyangka juga bisa sampai ke hutan bambu To’kumilla dengan berjalan kaki. Melewati hutan yang terdapat menhir-menhir, kuburan batu dan kolam buatan, akhirnya kami sampai ke hutan bambu To’kumilla Toraja. Berbeda dengan hutan bambu di Panglipuran Bali, hutan bambu To’kumilla Toraja ini mempunyai batang bambu berukuran besar dan uniknya tumbuh di atas batu.
Cerita Bersambung
Mama Sarjani | Dok pribadi |
Setelah mengambil beberapa foto dan video untuk dokumentasi, kami melanjutkan perjalanan. Singgah ke rumah oma Sarah dan oma Sandabua, kembali kami disuguhi secangkir kopi. Mungkin cangkir ke lima untuk gue; satu cangkir di rumah mama sebelum berangkat ke rambu solo’, satu cangkir di acara rambu solo’, satu cangkir di sekolah mama, satu cangkir di rumah warga yang sedang persiapan rambu solo’ dan terakhir satu cangkir di rumah oma Sarah. Baru setengah hari sudah 5 cangkir kopi (?). Hahaha.
Kata mama Sarjani, para warga disini sedang sibuk mempersiapkan untuk Grand Launching Pasar Hutan Bambu To’kumilla. Beberapa Kerajinan bambu dan gelas dan keranjang bambu sudah mulai dibuat, ibu-ibu juga sedang latihan vokal untuk mengisi Grand Launching Pasar Hutan Bambu To’kumilla. Momen paling ajaib kompilasi di sini adalah saat duduk di alang, disebelah oma Sarah dan oma Sandabua, melihat mama Sarjani sedang bercakap dengan warga perihal acara hutan bambu dan menghirup aroma secangkir kopi panas. RUMAH. Gue bakalan rindu momen seperti ini, yang mungkin nggak akan terulang.
bersambung…
Wah keren, semoga SD negeri itu berkembang setelah dibuat video profilenya. Sayang banget di tengah gempitanya keindahan dan wisata Toraja yang gempita, ada pendidikan dasar yang masih tersia-sia.
setiap wilayah sepertinya masih ada kak. tak terkecuali pinggiran ibu kota. bersyukur bertemu mereka jadi lebih termotivasi untuk lebih baik lagi
Put, kamu jatuh cinta banget ya sama Toraja. Terlihat jelas dari cara kamu bercerita
Jadi ingat kak Olive Bendon, obendon.com, cewek Toraja (kalau nggak salah) yang jatuh cinta dengan Aceh 😀
Ah, jadi penasaran dengan Papi'ong.
Jangankan di Toraja. Di Banjarmasin pun orang bakal amazed dengan penampilan unikmu, kan? Berapa banyak cewek Banjarmasin yang rambutnya dicat hijau 😀
kalau definisi jatuh cinta dengan Toraja bisa terwakilkan dengan semua cerita-cerita aku, mungkin ya! suka banget bnagun tidur di rumah tongkonan, tidur lelap dengan hawa dingin Toraja yang ketika pagi menusuk sampai tulang.
yuk bang ke Toraja!
setiap ke mall di banjarmasin pasti diliatin sama orang : ini orang rambutnya kenapa dah. hahaha
Ternyata ada cerita begini juga di Indonesia ya walau beda jalan cerita tapi seru juga ya ada cerita daerah begini. Sering-sering cerita begini dong kaka Putri, aku suka deh. Hehe
siaaap kakak Rimaaa
ananti dicariin cerita yang seru gini
Luar biasa keren. Barusan saya membaca novel yg setting tempatnya di Toraja, dan tulisan Mbak Putri tentang keadaan di Toraja ini kurang lebih sama dengan yang saya baca dinovel. Seakan setting tempat di novel beneran hidup dan menjelma menjadi pemandangan dan Kejadian nyata, terutama dibagian kopi dan jalan kakinya itu, mirip kayak di novel, kalau pemandangan alam sekitarnya indah, capeknya jalan kaki jadi tidak terasa ya XD
Baca kata landorundun langsung ingat sama buku cerita waktu kecil dulu, tentang putri yang rambutnya panjang dan hanyut di sungai kemudian ditemukan seorang pangeran atau raja gitu.
Eh ternyata ada desanya ya, makasih ya mbak putri sudah berbagi pengalamannya di tanah Sulawesi
Awal baca prolognya sudah penasaran sih aplg ttg khidupan stelah raja bone dan sang putri menikah hehe Ditunggu to be continuenya ya hehe
ditunggu lanjutannya ya.Toraja cakep banget yaa…kapan ya bisa kesana juga. iya setuju semoga anak2 Toraja bisa jadi generasi penerus yang membanggakan..
oh iya, gmn rasanya sehari lima cangkir kopi ya? hehe
aku selama ini kalau dengar kata Toraja mikirnya kehidupannya masih tradisional banget loh. setelah baca-baca tulisannya Putri jadi makin banyak tahu deh tentang Toraja
Seketika aku tu membayangkan nasi merah, telur dadar daun bawang sama sayur pepaya. Duh enak banget sama nasi anget2 ya.. jd byk tau tentang toraja padahal belum ada niatan kesana jadi kepengen
Aku kok seperti pernah membaca cerita ini ya?
Setting dan ceritanya mirip
meliat ekspresi bapak-bapak yang wefie bareng putri, masya Allah beliau nampak sangat menghayati. hehehe, menghayati berfoto ala zaman naw!
Rumah bukan tentang tempat di mana kita tinggal ya, tapi juga tentang perasaan nyaman yang bisa kita temukan. DI mana saja, bahkan di daerah yang jauh dari tempat kita berdomisili pun.