Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Rambu Solo Toraja, Pesta Kematian Toraja

7 min read

rambu solo Toraja

Rambu Solo Sesean| Dokumen Pribadi

LilPJourney.com | TORAJA – Pada pertengahan Januari 2019, National Geographic Indonesia meluncurkan sebuah artikel “Indonesia Ungguli India, Singapura Hingga Dubai Sebagai Negara Paling Instagramable’ yang mengutip berita dari Big 7 Travel. Dalam berita tersebut Indonesia menempati urutan ke-4 (81,10%) sebagai negara paling intagramable mengungguli Dubai (urutan ke-9) dan Singapore (urutan ke-10). Tak bisa dipungkiri, Indonesia memang negara dengan paket lengkap. Tak hanya pantai-pantai cantik di Timur Indonesia dan gunung-gunung indah di seluruh penjuru negeri, kekayaan kuliner yang juga sudah tersohor di dunia, sebut saja rendang, soto, nasi goreng dan masih banyak lagi. Tapi Indonesia juga dikenal lewat kekayaan budayanya. Ialah Toraja. Kota cantik di daerah dataran tinggi Gunung Latimojong dengan udara segar ini masih menjaga budayanya hingga sekarang. Salah satu acara adat di Toraja yang sudah menjadi buah bibir dunia adalah Upacara Adat Kematian Toraja Rambu Solo.

SEJARAH RAMBU SOLO TORAJA

rambu solo Toraja
Rambu Solo Sesean| Dokumen Pribadi

Upacara adat Rambu Solo’ Toraja merupakan upacara kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk memberi penghormatan terakhir dan sebagai penyempurnaan kematian. Bagi masyarakat Toraja seseorang akan dianggap benar-benar meninggal setelah dilaksanakan upacara rambu solo’. Apabila upacara Rambu Solo’ belum diselenggaran, maka orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit, dimana ia masih diperlakukan seperti halnya orang hidup yang dihidangkan makanan dan diajak bicara.

Dari beberapa artikel menyebutkan bahwa dahulu rambu solo’ hanya boleh dilaksanakan oleh orang-orang dari kasta bangsawan. Namun seiring berjalannya waktu, setiap orang boleh melaksanakan upacara ini selama mampu dan memiliki biaya. Rambu solo’ boleh tidak dilaksanakan jika keluarga dalam keadaan kurang mampu dan digantikan dengan memukul tempat makan babi agar didengar oleh tetangga. Tapi kebanyakan orang Toraja lebih mengedepankan rasa siri’ atau malu, dan karena tidak adanya batas akhir pelaksanaan rambu solo’, mereka lebih memilih berusaha untuk menyelenggarakannya..

Prosesi Acara Rambu Solo Toraja

Ma’ tudan mebalun | sumber : http://www.gocelebes.com
Upacara rambu solo’ terdiri dari dua prosesi acara yaitu rante (pemakaman) dan pertunjukan kesenian. Kedua prosesi ini satukesatuan dan melengkapi keseluruhan acara.

Prosesi rante diadakan di halaman komplek rumah tongkonan yang terdiri dari beberapa acara :

  1. Ma’Tudan Mebalun, yaitu proses pembungkusan jenazah.
  2. Ma’Roto, yaitu proses menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan benang perak.
  3. Ma’Popengkalo Alang, yaitu proses pengarakan jenazah yang telah dibalun ke sebuah alang (lumbung) untuk disemayamkan.
  4. Ma’Palao atau Ma’Pasonglo, yaitu proses pengarakan jenazah dari area rumah tongkonan ke kompleks pemakaman yang disebut La’kian.
  5. Ma’kaburu’ yaitu pengantaran jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. 

 

pemotongan kerbau toraja
Penyembelihan Kerbau  | Dok Pribadi

Prosesi kesenian dilaksanan tidak hanya untuk memeriahkan acara tapi juga sebagai bentuk penghormatan terakhir serta do’a bagi keluarga yang meninggal. Seperti halnya prosesi rante, dalam prosesi kesenian ini juga terdapat beberapa tahapan acara :

  1. Perarakan kerbau yang akan menjadi kurban
  2. Pertunjukan beberapa musik daerah, yaitu Pa’Pompan, Pa’Dali-dali, dan Unnosong.
  3. Pertunjukan beberapa tarian adat, antara lain Pa’Badong, Pa’Dondi,
    Pa’Randing, Pa’katia, Pa’Papanggan, Passailo dan Pa’Silaga Tedong.
  4. Pertunjukan Adu Kerbau (tedong), sebelum kerbau-kerbau tersebut dikurbankan.
  5. Penyembelihan kerbau sebagai hewan kurban

TORAJA : DESEMBER TAHUN KEDUA

tau tau museum ne gandeng
Tau-tau, Museum Ne’ Gandeng | Dokumen Pribadi
Entah hal magis apa yang membuat gue nggak pernah bosan untuk mengunjungi Toraja. Rasa penasaran tentang budaya disana seakan tak pernah habis. Bahkan setelah acara Ma’ Nene’ pada Agustus 2018, ternyata tak kunjung menyelesaikan rasa penasaran gue dengan kota kecil yang terkenal tak hanya karena budaya, tapi juga kopinya ini.

 

rumah tongkonan
Komplek Rumah Tongkonan Keluarga Om Fyant | Dokumen Pribadi

Saat kota-kota lain tengah sibuk dengan semua modernisasinya, kota ini seakan bergeming. Ia terus berjalan dengan semua nilai-nilai leluhurnya. Tidak. Ia bukan tak peduli pada semua modernisasi. Hanya saja, mereka percaya bahwa setelah kehidupan di dunia, akan ada ‘dunia’ lain (puya) sebagai tempat beristirahat dan berkumpul dengan para leluhur. Itulah mengapa orang-orang Toraja tak pernah meninggalkan adatnya.

Puya dan Kepercayaan Toraja

Masyarakat Toraja percaya bahwa di puya inilah arwah orang meninggal akan bertransformasi menjadi wujud lain tergantung dari kesempurnaan prosesi upacara rambu solo’. Untuk mencapai kesempurnaan tersebut, maka keluarga yang ditinggalkan akan berusaha semaksimal mungkin demi menyelenggarakan acara ini. Maka tak heran bila upacara adat yang terkenal karena memakan biaya tak sedikit, ratusan bahkan hingga milyaran rupiah, ini baru dapat dilangsungkan beberapa bulan bahkan tahun setelah keluarga meninggal. Dan karena biaya yang fantastis ini, ada beberapa orang yang menyebutkan bahwa ‘orang Toraja bekerja untuk mati’. Om Fyant pernah bilang : makanya jangan heran kalau diseluruh Indonesia ada orang Toraja, karena orang-orang Toraja tekun dalam bekerja untuk keluarga mereka salah satunya untuk acara ini.

sebelum rambu solo Toraja
Oma om Fyant sebelum Rambu Solo’ | Dokumen Pribadi

Gagasan kembali ke Toraja di bulan Desember muncul saat om Fyant ngajak gue ke rumah omanya. Waktu itu setelah jalan-jalan dari objek wisata Erong Lombok Parinding, om Fyant meneruskan perjalanan entah kemana. Gue diculik juga nggak tau. Hahaha. Di jalan dia bercanda : tante mau ngerasain magisnya Toraja? Dan sampailah kami di sebuah komplek tongkonan yang tak lain adalah tongkonan keluarga dia. Lalu…

“Eh mau ketemu oma enggak tante?” tuturnya.

Oma dan Rasa Jatuh Cinta

Gue yang awalnya bingung cuma bisa mengiyakan aja. Dan, gue diajak ketemu ‘oma’ yang berada di kamar belakang rumahnya. “Cantik”. Cuma satu kata yang bisa menggambarkan situasi saat itu. Omanya cantik dan budaya di Toraja ini cantik. Om Fyant cerita kalau oma sudah meninggal 10 tahun dan rencananya bulan Desember akan di ‘pestakan’. Iya, oma om Fyant di rambu solo’ pada Desember kemarin. Saat itu om Fyant mempersilahkan kalau ingin datang untuk melihat langsung.

Menginap di Rumah Tongkonan

Merasa petualangan di Toraja belum menumui ujung, akhirnya gue ‘janji’ untuk kembali ke Toraja pada bulan Desember sembari mebawa setoples coklat homemade buat om Fyant. Tapi sayang ternyata kami tak berjodoh bertemu pada Desember kemarin. Dan gue gagal ke acara oma-nya. Sedih? Iya sedih banget karena melewatkan acara yang ada didepan mata hanya karena miscommunication sama om Fyant.

Mungkin saat itulah, waktu om Fyant membuka pintu kamar oma,  gue jatuh cinta pada Toraja untuk pertama kalinya.

 

tongkonan toraja
Rumah mama Landorundun | Dokumen Pribadi

Setelah tiga kali ke Toraja dan kali ini gue memutuskan untuk menginap di rumah tongkonan di Landorundun. Hari sudah siang saat gue sampai di Landorundun karena bisnya telat sampai di Toraja, seharusnya pukul 6 pagi gue sudah sampai di Rantepao tapi ternyata molor dua jam. Perjalan dari Rantepao ke Landorundun yang terletak di Kecamatan Sesean Suloara sekitar 1,5 jam. Dan hari pertama disambut dengan nyasar. Hahaha. Tapi nyasarnya keren kok. Nyasar di acara rambu solo Bapak Lucas Selallo.

Nyasari di Acara Rambu Solo

Saat itu gue sama koneng (travelmate baru) ternyata salah ambil jalan. Kami nyasar ke komplek tongkonan yang kebetulan tengah berlangsung salah satu rangkaian acara Rambu solo yaitu prosesi Ma’kaburu’. Prosesi ma’kaburu’ ini merupakan prosesi akhir dari upacara adat rambu solo’, dimana didalamnya terdapat beberapa rangkaian acara seperti penyembelihan kerbau, penurunan jenazah dari la’kian untuk diletakkan di tengah tongkonan, ibadah pelepasan jenazah, makan siang bersama dan pengantaran jenazah ke peristirahatan terakhir.

rambu solo Toraja
Rambu Solo’ Sesean| Dokumen Pribadi

Saat gue dan Koneng datang ke acara rambu solo’ ini keluarga sedang bersiap menurunkan jenazah dari la’kian dan dilanjutkan dnegan pembacaan doa. Disini gue bener-bener merasakan bagaimana ramahnya orang Toraja kepada tamu yang datang walaupun itu orang awam seperti gue, terlebih kami muslim dan Koneng juga menggunakan hijab. Mereka, orang-orang Toraja, benar-benar penjamu tamu yang baik. Disana kami yang baru datang langsung dipersilahkan untuk duduk bersama anggota kelurga yang kala itu menanti pendeta sambil menyuguhi kami kopi, teh dan kue. Saat berkumpul itulah gue mengaamiini perkatakaan banyak orang bahwa orang Toraja ada penutur yang baik. Mereka tak segan untuk bercerita tentang banyak hal mulai dari acara adat hingga bercanda bersama kami.

TORAJA : MARET TAHUN KETIGA [UPDATE POST]

sarapan toraja
Sehat banget disini, jalan kaki 5 km plus makannya nasi merah | Dok Pribadi

Kali ini, Ransel Merah Jambu membawa gue ke Toraja lagi. Maret 2019 menjadi bulan paling random. Dimana gue tiba-tiba diterima jadi relawan dokumentator Kelas Inspirasi Toraja. Persiapan segala keperluan seperti baju, sendal outdoor, kamera dan laptop sudah rampung. Tapi kadang niat belum tentu sejalan dengan rencana Tuhan.

Saat itu gue yang baru sampai di Toraja tiba-tiba harus nganter tamu ke Singapore dan Malaysia. Dan guidenya nggak bisa diganti karena tiketnya sudah oke. Well, mungkin belum rezekinya untuk ikut Kelas Inspirasi Toraja kali ini.

pak lembang landorundun
Dianterin Papa | Dok Pribadi
Diantar Ne’ Lembang

Dan namanya juga udah kepalang tanggung sampai Toraja, jadi ya udah jalan-jalan aja. Nikmatin aja lah yaaa. Menginap di rumah kepala Desa Landorundun itu kaya punya ‘unlimited access’ gitu nggak sih? Mau ke kebun kopi deket banget dari rumah ‘papa’, tinggal jalan kaki 100 meter udah sampai. Dan beruntungnya, waktu itu ada acara Rambu Solo’. Walaupun sisa hari terakhir : penyembelihan kerbau dan pemakaman, tapi toh gue belum pernah lihat. Terus karena gue sendirian, jadi berasa banget di sayangin disana sama mama dan papa, panggilan buat Pak Kepala Desa (Lembang in local language) dan istri.

rambu solo Toraja
Rambu Solo Alm. Paulus Pongbusa | Dok Pribadi

Nggak cuma di kasih info kalau ada acara Rambu Solo’, tapi gue dianterin langsung dong sama Papa. Seneng? Banget! Sepanjang jalan bahkan Papa cerita macem-macem tentang budaya Toraja yang kaya banget. Dimana semua acara adat Toraja itu selalu mengutamakan kebersamaan dan gotong royong. Sampai akhirnya : besok kita ke acara pernikahan Rambu Tuka’ ya. YAY! I’m lucky!!! Sekali dayung tiga pulau terlampaui. Rambu Solo’ dapet, Rambu Tuka’ pun dapet.

rambu solo Toraja
Penyembelihan kerbau di acara Rambu Solo’ | Dok Pribadi

Pukul 8.00 pagi Papa sudah siap untuk berangkat ke acara Rambu Solo’ Alm. Bapak Paulus Pongbusa yang lokasinya nggak terlalu jauh dari rumah mama. Waktu kami sampai, ada 5 kerbau yang akan disembelih hari ini. Kata Papa kemarin sudah ada beberapa kerbau dan babi yang disembelih. Agak serem sih pas melihat langsung proses penyembelihannya. Tapi, gue ngerasa amzing dong : sekali tebas aja loh proses penyebelihannya.

anak anak toraja
Anak-anakku | Dok Pribadi
Ikut Mama ke Sekolah

Selesai acara pemotongan kerbau Papa ngajak pulang karena harus anterin Mama ke sekolah untuk mengajar. Oh iya, Mama merupakan kepala sekolah di SDN 8 Tikala. salah satu sekolah ‘sederhana’ dengan pemandangan alam yang luar biasa cantiknya. Waktu gue berangkat (ikut ke sekolah) bareng mama dan papa, mata gue dimanjain sama pemandangan yang canrik banget. Jam 9.30 pagi dan kabut masih asik bermain-main di atas pepohonan. Gue secara mendadak bantuin Mama buat video dokumenter untuk akreditasi. Nanggung dong udah bawa kamera dan laptop kalau nggak dimanfaatin. Ceritanya di post yang lain ya. Hehehe

rambu solo Toraja
Proses pemakam Ma’Pasonglo | Dok pribadi
Penguburan di Kuburan Batu

Kembali ke acara Rambu Solo’, Papa bilang sore sekitar pukul 3.00 jenazah akan di semayamkan di Lo’ko (kuburan di gunung). Waaah keren nggak sih bisa sampai ngelihat di proses penguburan. Di gunung pula bukan di patene (kuburan modern yang berbentuk rumah). Dan sayangnya : kamera low battery, HP gue error dan action cam juga lagi di charger. Bayangin segabut apa gue buat dokumentasi waktu itu. Untungnya pas ikut arak-arakan ke keburuan batu dianter sama ponakan Mama. Alhamdulillah dia dengan senang hati minjemin HP buat dokumentasi waktu itu. Makasih Juppe’ La’lang. Hahaha

rambu solo Toraja
Proses pemakam Ma’Pasonglo | Dok pribadi

Saat acara pemakaman ini gue ngerasa bener-bener terhipnotis dengan begitu luar biasanya gotong royong masyarakat disini. Rambu Solo’ bukanlah acara kecil, ini bener-bener acara adat yang luar biasa memerlukan segala bentuk tenaga dan kekompokan dari masyarakat dan keluarga. Pertama dari segi pendanaan penyelenggaraan acara yang memang ‘mahal’. Jika satu kerbau 50jt di kali 10 kerbau? Ya kalian bisa bayangkan betapa luar biasanya usaha keluarga untuk menyelenggarakan acara ini. Betapa ‘materi’ bukan hanya untuk hidup tapi benar-benar untuk ketulusan dan rasa cinta untuk leluhur mereka.

rambu solo Toraja
Jenazah di makamkan bersama barang kesayang : di dalam tas | Dok pribadi

Jarak tempat penguburan dari rumah mama mungkin sekitar 1,5 km. Setelah diarak dari rumah hingga lo’ko menggunakan truck, jenazah diturunkan untuk kemudian di gotong dengan diiringi nyanyian. Dan yang bikin gue merinding itu : mereka gotong jenazah beserta sarigan (rumahan jenazah) naik ke gunung. Jenazah dimakamkan diliang bersama dengan benda kesayangan semasa hidup, biasanya termasuk baju-baju. Filosofinya? Nanti dicerita Rambu Solo’ selanjutnya yang bakalan gue datengin bulan Desember 2019. Hehehe

rambu solo Toraja
Pendopo untuk istirahat tamu/keluarga | Dokumen Pribadi

DAN PERJALANAN INI MEMBUATKU RINDU

Secara keseluruhan acara rambu solo’ bukan hanya tentang biaya fantastis untuk penghormatan terakhir keluarga tercinta ke peristirahan terakhir. Tapi juga tentang rasa kekeluargan yang begitu erat, rasa saling memiliki dan bagaimana kematian bukan memisahkan tapi mendekatkan yang jauh untuk berkumpul kembali. Karena di acara ini semua anggota keluarga akan mengusahakan untuk pulang kampung. Sebenarnya cerita ini belum komplit. Ada beberapa literasi yang belum terisi, teruma tentang runtutan acara yang berlangsung seperti proses pemotongan kerbau dan saat pembungkusan jenazah (mabalun). Karena acara rambu solo Toraja ini sangat luar biasa cantiknya dan luar biasa menguras waktu. Harus stay beberapa hari, mungkin satu minggu, untuk dapat merekam acara secara keseluruhan.
 
Dikota yang menjadikan aku minoritas tapi nyatanya penuh hangat, aku menemukan definisi ‘kelurga’ dengan sudut pandang yang lebih luas. Segera kembali. 

Maaf ceritanya belum menggambarkan keseluruhan acara. Akan di update lagi setelah bulan Desember 2019, saat gue ke Toraja lagi untuk mengejar rambu solo Toraja salah satu keluarga teman gue disana. Mau join? DM me on instagram : @putriii_santoso.

PS
Peluk dari jauh.

Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

58 Replies to “Rambu Solo Toraja, Pesta Kematian Toraja”

  1. Adat budaya Toraja emang unik banget, dan kalau boleh dibilang agak seram juga kalau yang berkaitan dengan mayat

    1. gk ada yg salah kok kak. hehe

      kurang explore aja mungkin. karena kalo hoki bisa nemu rambu solo’ kadang. coba cek ig dinas pariwisata toraja utara @visittorajautara buat follow calendar of event mereka sebelum kesana. jadi bisa ngepasin tanggal. hehehe

  2. Itu bisa berkali-kali ke Toraja, memang dekat atau memang berjodoh sama Toraja aja ya mba. Keren dan seru, bisa berkali2 dan "menebus" yang belum dilakukan sebelumnya!

    1. deket sih enggak kak…harus naik pesawat dl ke makassar baru 8 jam ke Toraja naik bus.
      tapi kaya ada magnetnya gt buat aku balik ke sini. hehehe
      dan selalu punya cerita baru setiap datang ke Toraja, melengkapi kepingan puzzle cerit di Toraja

  3. Wah asik banget sih ini
    Setiap ke Toraja selalu bertepatan dengan acara adat yang wow begini
    Sejak dulu terkagum-kagum sama ada dan semangat gotong royongnya orang Toraja
    Saluuuuuuut

  4. Wah, ternyata ada yang magis ya di kamar itu hihihihi…. Btw barang kesayangan dibawa juga ke pemakaman ya. Unik banget. Salut deh mbak, bisa mengikuti acara adat seperti ini di Toraja. Papanya juga nganterin ya wow…. biar tau oooh anakku di sini toh mainnya hehehe 😀 Aku udah follow blognya dan IG nya ya, c u 😀

    1. Iya mba…kemaren pas beruntung banget bisa ketemu acara-acara adat kak… Iyaa dong Papa malah yang paling antusias anterin anaknya keliling desa. hehehe
      Btw sudah saya follbck yaaa IG dan blognya kak ^^

  5. Di gerejaku banyak orang Toraja dan merek bilang, "Kalau mau menikah, menikahlah dengan orang Toraja, karena biaya menikah itu mahal. Tapi kalau sudah menikah, kamu jaga dia jangan sampe mati. Karena matinya orang Toraja itu mahal."

    🙂

    1. Aduh kak >.< hehehe
      Ada-ada aja yaaa. Tapi memang benar sih. Biaya pemakamannya lebih mahal daripada nikah. Anggaplah 1 kerbau itu 50jt. Satu acara misal 5-10 hehehe
      Walaupun anggota keluarga yg lain turut membantu

  6. Dari dulu selalu penasaran dengan budaya tana toraja. seolah, disana kita bisa melihat indonesia jaman batu.. budayanya masih terjaga. keren

    1. masih ada loh menhir2 batu disana kak dan tetap dilaksanakan sampai sekarang pembuatan menhir atau dalam bahasa daerahnya di sebut simbuang batu

  7. mbak … rambu solo ini untuk orang sepuh sajakah?
    lalu kalau belum terlaksana satu upacara buat oma , lalu menyusul ada anggota keluarga yg wafat, boleh disatukan acaranya?

    dan prosedur pengawetan jenazah hingga 10 tahun pakai apa? cuma formalin atau ada cara sendiri?

    1. Rambu solo' ini bukan untuk orang sepuh aja, berlaku untuk tua maupun muda. Tapi kalau anak-anak selama belum tumbuh gigi dimakamkan di pohon.

      Saya pernah lihat beberapa foto acara rambu solo', dimana yang dipestakan sekaligus beberapa 2 orang. Kalau kata teman saya di Toraja, bisa saja disatukan (beberapa jenazah langsung) tergantung kesepakatan keluarga. Dan kalau 'pesta rambu solo' ini besar atau tidaknya acara tergantung dari kemampuan dan kasta.

      Nah kalau untuk prosedur pengawetannya itu pakai ramuan tradisional Toraja mba. Nanti kalau mba ke Toraja, mampir aja ke rumah warga, nanti warga disana mau kok cerita detailnya. Kalau saya merasa masih kurang wawasan untuk menyampaikan, takutnya salah. Hehe. Yang jelas ada yang pakai formalin, tapi hasil pengawetannya tidak bertahan lama dan nggak sesempurna ramuan tradisional mba.

      Oh iya, itu 10 tahun bukan waktu baku ya, tapi itu waktu tunggu keluarga untuk pelaksanaan Rambu solo. Kalau mampu bisa saja beberapa bulan setelah kematian. Ada yang lebih dari 10 tahun juga.

      Jadi intinya, semua tergantung kemampuan keluarga untuk melaksanakan upacara ini kak.

      Detailnya, memang harus main langsung ke sana. Hehehehe

  8. Dan demi apa, gua juga magic banget baca ulasan ini dari awal sampai akhir.detail dan deskriptif banget. Toraja itu keren ya, sangat menghargai adat istiadat. Dari mulai kelahiran hingga kematian, semuanya dihargai. Pantasan mahal.

    1. hello kak terimasih telah membaca
      Toraja sejauh ini sukses bikin aku jatuh cinta sih dan salah satu destinasi di Indonesia yang harus dikunjungi

  9. Aku tadinya mau tanya, gimana bikin jenazah awet sampai puluhan tahun.

    Luar biasa dana yang dibutuhkan yaa..
    Dan aku rasanya gak asing sama Landorundun.
    Aku teringat saat pelajaran bahasa Indonesia jaman SD. Ada kisah mengenai Landorundun.
    Ternyata ini kisah nyata…

  10. Sudah lama banget tahu tentang rambu solo. Temenku mah menganggapnya ini 'solo' di sini adalah Jawa Tengah.
    Sudah sering baca tentang ritual ini dan karena punya kenalan orang Toraja jadi tahu 'sediki', baca ini aku jadi semakin berharap bisa ke sana. Ingin lihat tapi juga takut, seriusan takut.

  11. Sudah lama sekali ingin berkunjung ke tanah toraja tegapi belum kesampaian juga. Tapi dengan baca artikel ini seakan akan terbawa sudah berada di tanah tersebut. Semoga bisa kesana..

  12. Beruntung banget mbak… Bisa mengikuti prosesi budaya yang begitu unik secara langsung. Saya cumw pernah liat di tv penyembelihan kerbau ala toraja. Sekali tebas, mana kerbau dalam posisi berdiri… Hihi. Mksh cerita serunya.. Menarik.

  13. Holy God.. posting-posting tentang Toraja ini (kemaren rasanya aku baca tentang Bukit Teletubbies di kabupaten Tana Toraja) membuatku iri. Alangkah senangnya bisa menghadiri acara adat setempat dengan bantuan koneksi warga lokal. Seandainya aku tidak punya anak balita yang mesti dirawat, mungkin aku kepingin ikut juga menghadiri Rambu Solo.

  14. Keren ulasannya mbak, Toraja ini untuk acara adat permakamannya biayanya emang super besar ya mbak. 5 kerbau yang dipotong kalau ditotalkan uang, wah lumayan banget. TApi itulah penghormatan terahir mereka untuk keluarga yang sudah mendahului.

  15. Keren banget kak..
    Sebenernya pengen banget ngunjungin Toraja, pengen tau secara langsung adat istiadat yang masih di pegang teguh sama masyarakat nya..
    Gak sabar nungguin next Toraja story nya kak..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *