Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Ma Nene Toraja : Cerita Mayat Berjalan Toraja

7 min read

 

ma' nene' toraja


LilPJourney.com | TORAJA
– Sosok renta itu tengah dituntun berjalan beriringan dengan pakaian ‘kemegahannya’ lengkap dengan sepatu dan kaca mata. Di sebelahnya berdiri para anggota keluarga yang penuh haru dan rindu menanti untuk dapat kembali ‘berkumpul’ bersama. Sekilas sosok tersebut memang tampak wajar, tapi ia ternyata sudah tak bernyawa. Itulah gambaran acara adat ma’ nene’  yaitu ritual penggantian pakaian mayat yang berlangsung pada 23-24 Agustus 2018 di Toraja Utara, Sulawesi Selatan.

Dan inilah cerita ‘jatuh cinta pada kota orang’. Di Toraja, ada keindahan lain dari Indonesia. Keindahan yang berbalut adat, kerinduan dan bukti cinta pada leluhur yang tak tergerus oleh zaman.

 

Setahun Lalu

jak koffie torajaBerawal dari perjalanan ke Toraja tahun lalu, mengunjungi salah satu coffee shop di kota Rantepao, Jak Koffie. Saat gue lagi asik bahas tentang kopi di Jak Koffie sama Cece dalam bis Toraja-Makassar. Ada yang menyapa kami (mungkin lebih tepatnya gue?).

Hi, baru dari Jak Koffiie ya?” sapa lelaki yang tidak dikenal itu.

Ya, itulah kali pertama gue bertemu Om Fyant Layuk, yang setelah berkenalan ternyata dia seorang pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Toraja Utara. Dari Om Fyant inilah gue mendapatkan informasi tentang acara ma’ nene’ yang dilaksanakan pada Agustus 2018.

Gue kira acara adata di Toraja hanya Rambu Solo’ (pemakaman) dan Rambu Tuka’ (acara yang berhubungan dengan kebahagiaan seperti pernikahan). Ternyata ada juga acara ma’ nene’,  sebuah upacara adat ‘langka’ karena hanya dilaksanakan setiap tiga tahun sekali dan tidak semua daerah di Toraja melaksanakan acara ini.

Ma nene Toraja
Ma’ Nene’ Pangala’ | Dok Pribadi

SEJARAH MA NENE TORAJA

Mengutip dari beberapa sumber yang terlepas dari cerita nyata atau bukan, masyarakat Toraja percaya bahwa memuliakan orang yang sudah meninggal akan membawa keberkahan bagi kehidupan.

Diceritakan bahwa dahulu ada seorang pemburu yang menemukan jenazah di tengah jalan dengan kondisi yang memprihatinkan. Sebelum melanjutkan perjalanan, hatinya tergerak untuk memakaian baju kepada jenazah yang telah menjadi tulang belulang tersebut dan kemudian memindahkannya ke tempat yang lebih layak.

Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya si pemburu ketika mendapati ladangnya sudah siap panen, padahal waktu itu belum tiba masa panen. Keberuntungan demi keberuntungan terus terjadi di kehidupan si pemburu tersebut. Dari cerita sang pemburu inilah kemudian lahir tradisi ma’ nene’  dan berlangsung hingga saat ini.

Bagi masyarakat Toraja ma’ nene’ mempunyai dua makna dalam pengartiannya. Pertama, seperti keyakinan orang Toraja pada umumnya, istilah ma’ nene‘ dipahami dari kata nene’ alias “nenek” atau leluhur/orang yang sudah tua. Dan kedua, ada yang yang memaknainya dengan arti yang sedikit berbeda. Nene’ artinya orang yang sudah meninggal dunia. Baik mati tua maupun mati muda sama-sama disebut nene’.

Kata nene’ kemudian diberi awalan “ma” yang jika digabung dapat diartikan sebagai “merawat mayat”. Prosesi ma’ nene’ terbagi menjadi beberapa acara yaitu :

  1. Pembukaan liang kubur (loko’),
  2. Pembersihan jenazah (mengganti pakaian),
  3. Penutupan liang kubur
    kembali
  4. Ibadah.

TORAJA, AGUSTUS TAHUN KEDUA

so'ko torajaWaktu menunjukkan pukul 05.00 pagi ketika gue sampai di perwakilan bus Bintang Prima Rantepao. Pada dering ke lima Om Fyant, yang sebelumnya telah bersedia nemenin perjalanan gue di Toraja, menjawab panggilan telepon. Tak berapa lama om Fyant sudah sampai di perwakilan bus tempat gue menunggu.

Atmosfer Toraja pagi itu berbeda. Lebih cerah dari pertama kali gue kemari tahun kemarin. Mungkin, karena sosok lelaki yang saat ini sedang memboncengku atau memang magis kota ini perlahan menyihirku untuk menetap?

“Hari ini mau langsung ke ma’ nene’? atau mau istirahat dulu?” tanya om Fyant

Tanpa pikir panjang gue langsung menjawab. “Tentu saja langsung ke acara ma’ nene’. Tapi, memangnya acara ini dimulai jam berapa om?”

“Mungkin jam 9-an tante, kita ke penginapan kamu dulu taruh ransel kamu yang super mungil itu dan mandi,” tuturnya  diikuti tawa jahilnya.

Ya bagian mandi memang sengaja ia tekankan, karena gue pernah cerita bahwa diperjalanan pertama gue ke Toraja yang hanya 12 jam, gue nggak mandi hampir 36 jam. Jam 4 sore—selepas menerjang badai laut Sulawesi dari Sombori-Labengki—mandi di Kendari, jam 9 malam  sampai di Makassar lalu bersambung perjalanan 8 jam ke Toraja dan langsung kembali ke Makassar malam harinya. Dimana dan kapan sempat mandi di trip sambung menyambung seperti itu? Hahaha.

Sarapan dengan Sokko’

Setelah meletakkan si “ransel merah”—yang kata om Fyant lebih mirip kantong Doraemon karena mampu menampung semua keperluan gue untuk 4 hari—dengan aman di pojok kamar penginapan Riana Homestay, om Fyant ngajakin sarapan dengan menu makanan khas Toraja, sokko’. Terbuat dari ketan yang dihidangkan dengan parutan kelapa dan sambal tomat segar. Kalau kalian ke Toraja, kalian HARUS coba makanan ini!

Pukul 08.00 gue dan om Fyant berangkat ke lokasi acara ma’ nene’. Dan serius, awalnya gue nggak nanya sama sekali dimana acara ma’ nene’ ini di selelenggarakan, nggak nanya apapun tentang ma’ nene’, pasrah dan percaya aja sama om Fyant. Hahaha. Di culik pun gue pasrah. Ternyata lokasinya lumayan jauh dari Rantepao, sekitar 1 jam dengan jalan meliuk-meliuk ditambah kabut pagi Toraja yang masih tebal walaupun sudah jam 8.30 pagi.

Waaah cantik banget, jadi inget tahun kemarin kesini bisa lihat hamparan awan, padahal sudah jam 9,” celetuk gue ditengah perjalanan.

Tiba-tiba Jatuh Cinta

Waktu melintas di area persawahan yang sudah di panen, om Fyant cerita kalau acara ma’ nene’ baru boleh diselenggarakan setelah masa panen atau sebelum masa tanam. Oh mungkin ada kaitannya dengan kepercayaan asal-muasal ma’ nene’, pikirku saat itu. Tapi ternyata hal ini juga dikarenakan penyelenggaraan ma’nene’ sebagian dibiaya yang dari hasil panen.

Ma nene Toraja
Patene Pangala’ | Dokumen Pribadi

Sebelum ke lokasi ma’ nene’, kami pergi ke Lo’lai untuk menghampiri Kak Abun dan Mario. Mario adalah seorang fotografer asal Filipina yang tinggal di Dubai dan saat itu sedang menikmati masa libur kerjanya untuk menjelajah beberapa negara, salah satunya Indonesia. Bahkan sebelum ke Toraja dia sudah singgah ke Banjarmasin.

Kamu tau Mario, Putri ini orang Banjarmasin tapi nggak pernah ke Pasar Terapung Lo’baintan,” celetuk Om Fyant ditengah obrolan saat itu yang disertai tawa ‘jahatnya’.

Nahasnya aku masih bisa menghirup aroma parfume mu dalam ingatanku.

 

Setelah melewati hutan bambu dan sawah-sawah kami tiba di lokasi acara ma’ nene’ yang kali ini berlokasi di Desa Pangala’ (desa dengan pemandangan alam yang luar biasa cantik di ketinggian hampir 1500 mdpl), Kabupaten Toraja Utara yang konsisten melaksanakan ma’ nene’ setiap tiga tahun sekali.

pa piyong
Proses pembuatan pa’piyong | Dok Pribadi

Ketika kami sampai di lokasi acara, para warga sudah banyak yang berkumpul. Salah satu yang menarik perhatian gue adalah sekumpulan pemuda yang tengah asik membuat pa’piyong. Pa’piyong adalah makanan khas Toraja yang dimasak di dalam bambu. Isinya bisa berupa daging babi atau ayam atau bisa juga ikan mas yang dipotong-potong dan dibumbui bawang merah, bawang putih, garam, jahe serta serai. Dalam acara-acara adat Toraja, pa’piyong selalu disajikan sebagai menu makanan.

Cerita Ikan Mas

Oh iya ada cerita menarik tetang ikan mas. Ikan mas merupakan makanan yang wajib ada diacara adat di Toraja sebagai bentuk penghormatan kepada para tamu. Masyarakat Toraja paham, bahwa saudara mereka yang muslim tidak bisa makan babi. Sesederhana itu toleransi. Indah bukan?

Ma nene Toraja

“Kalau dulu ma’ nene’ dilaksanakan setelah  melihat bulan (bulan dalam tata surya, red), jadi waktunya tidak tentu. Bisa 10 tahun sekali. Tapi saat saya menjadi kepala lembang, mulai 2012 saya putuskan untuk mengadakan ma’ nene’ setiap tiga tahun sekali agar keluarga yang jauh dapat mempersiapkan diri untuk pulang,” tutur Pak Nathan, mantan kepala lembang Pangala’.

 

Ma nene Toraja
Bapak Peter Sambara | Dokumen Pribadi

Mayat Berjalan

Pernah mendengar mayat berjalan di Toraja? Nah mungkin yang dimaksud dari ‘mayat berjalan’ itu adalah acara ma’ nene’ ini. Coba perhatikan foto di atas. Apa yang terlintas dipikiran kalian? Seram. Ya, kebanyak orang yang melihat acara ma’ nene’  di YouTube atau di TV akan berpikiran seperti itu, tak terkecuali gue. Dan itulah pertimbangan kenapa berat untuk ke Toraja ‘sendiri’. Tapi waktu itu om Fyant bilang kalau ‘aman’.

“Dateng aja dulu, nanti nyesel loh, kan acara langka. Nggak serem kok. Sedih malahan”, tutur om Fyant meyakinkan.

Selain ma’ nene’, secara garis besar acara adat Toraja terbagi menjadi dua :
1. Rambu Solo’ (acara yang berkaitan dengan kematian)
2. Rambu Tuka’ (acara yang berkaitan dengan kehidupan)
Walaupun sama-sama acara kematian, tapi ma’ nene’ berbeda dan bukan bagian dari Rambu Solo’, dan bukan pula bagian dari Rambu Tuka’.

Rumah Masa Depan

Sebelum pembukaan dan pembersihan jenzah, acara ma’ nene’ dimulai dengan berkumpulnya anggota keluarga di patane. Patane merupakan kuburan keluarga yang bentuknya menyerupai rumah. Ada dua jenis kuburan di Toraja yaitu liang (loko’, biasanya di gunung-gunung batu yang di pahat) dan patane’ (bisa disebut kuburan modern masyarakat Toraja).

kuburan toraja
Lo’ko | Dok Pribadi

 

kuburan toraja
Patane | Dok Pribadi
kuburan toraja
Di dalam patane | Dok Pribadi

Setelah jenazah dikeluarkan dari patane, kemudian jenazah akan dibersihkan. Nah, jenazah yang ada di dalam patane ini ada yang dibungkus dengan kain ‘balun‘ (katanya proses pembalutan ini sedikit ekstrim karena jenazah akan di babat hingga benar-benar rapat) dan ada juga yang disimpan dalam peti kayu.

Berdasarkan cerita yang gue dapat selama di acara ma’nene’ ini, tidak semua jenazah dapat menjadi mummy. Contohnya saja kalau orang meninggal karena penyakit gula (diabetes) akan susah untuk bisa menjadi mummy. Tapi semua juga tergantung pada proses pengawetannya. Proses pengawetan jenazah ini dimulai dari saat meninggalnya orang tersebut, lalu di bungkus ‘balun’, disimpan di rumah sebelum akhirnya di makamkan dengan acara pemakaman rambu solo’. Jadi jenazah-jenazah yang di acara ma’nene’ ini sudah selesai di rambu solo’.

Jadi bisa dibilang urutannya mungkin seperti ini : manusia lahir dan mempunyai keluarga (rambu tuka’), lalu meninggal (rambu solo’) dan bertemu kembali saat ma’ nene’

Ma nene Toraja mayat berjalan
Ma’ Nene’ Pangala’ | Dok Pribadi

Jenazah yang berupa tulang belulang, maka kain pembungkusnya akan diganti (atau ada yang langsung dilapisi) dengan kain yang baru. Untuk yang menjadi mummy (umumnya ditempatkan di peti), pakaian yang dikenakan akan diganti dengan pakaian yang baru. Penggantian baju jenazah dilakukan oleh anggota keluarganya, bahkan ada yang anaknya langsung yang menggantikan baju orangtuanya. Baju yang dikenakan biasanya merupakan cerminan dari riwayat hidup si jenazah, contohnya kalau semasa hidup bekerja sebagai TNI maka akan dipakaikan baju seragam TNI, bahkan ada yang sepasang suami istri memakai baju pengantin

Adat yang Tetap Terjaga

Setelah proses penggantian baju selesai, mummy akan ‘berjalan’, atau lebih tepatnya dipapah oleh anggota keluarga untuk berfoto bersama. Para wisatawan juga diperbolehkan untuk mengambil foto serta berfoto bersama. Ternyata kuburan-kuburan di Toraja hanya boleh dibersihkan ketika acara ma’ nene’ saja. Jadi acara ma’nene’ tidak hanya bertujuan untuk membersihkan jenazah, tapi juga membersihkan kuburan seperti pengecatan dan atau pemindahan jenazah dari patene lama ke patane baru. Nah setelah acara ma’nene’ selesai, maka mummy akan dimasukkan kembali ke dalam peti dan disimpan kembali ke patane. Rangkaian prosesi ma’ nene’ ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di rumah ‘tongkonan’ untuk beribadah bersama.

Ma nene Toraja
Wisatawan berfoto bersama | Dokumen Pribadi

48 jam yang merubah pandangan gue tentang Toraja. Tentang ketulusan cinta pada leluhur. Bagi gue, ma’ nene’ bukan hanya sekedar ritual membersihkan jenazah dan memakaikan baju baru. Acara ini mempunyai makna yang sangat dalam, mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar anggota keluarga, terlebih bagi sanak saudara yang telah terlebih dahulu meninggal dunia.

Masyarakat Toraja menunjukkan hubungan antar keluarga yang tak terputus walaupun telah dipisahkan oleh kematian. Kematian bukanlah akhir segalanya. Tak hanya sebatas acara adat yang terus dijaga keberlangsungannya, tapi acara ma’ nene’ juga sebagai media untuk memperkenalkan anggota-anggota keluarga
yang muda dengan para leluhurnya.

Toraja adalah anugerah dan berkah dari Tuhan, tutur opa yang duduk di sebelah gue di perjalanan bus menuju Rantepao. Dan gue mengaamiini kalimat beliau.

Penyesalan

Sebenernya gue masih miskin literasi, masih perlu banyak info buat mengulas acara ini sampe tuntas. Seperti acara awal/persiapan sebelum patane di buka dan saat penyembelihan hewan sebagai pertanda acara dimulai. Sedihnya, gue baru sadar kalau kekurangan materi saat mulai nulis artikel ini. Beberapa info di google menurut gue jauh dari kondisi di lapangan. Jadi, gue harus ke Toraja lagi. Hehe.

Gue sangat berterimakasih untuk pembaca yang bersedia mengoreksi artikel ini, memberikan saran dan kritik demi kelengkapan artikel ini.

Jadi Indonesia itu bukan melulu tentang pantai dan pegunungan. Indonesia adalah paket lengkap. Kalau kau masih muda, punya waktu, tenaga, meteri dan masih sendiri (hehehe), lakukanlah perjalanan. Pundi-pundi rupiahmu akan kembali, tapi waktu dan tenaga ‘muda’ mu tak akan pernah kembali lagi.

Terimakasih sebanyak-banyaknya untuk :
Om Fyant Layuk (teman perjalanan yang luar biasa)
Kak Abun Pasanggang (yang ngebully gue disana, haha)
Ruhul Arkam (teman dari Enrekang yang sudah jauh-jauh dateng buat anterin kopi, by the way sampai ketemu lagi)
Para warga di Pangala’ yang sangat-sangat ramah
Dan teman-teman yang gue temukan sepanjang perjalanan.

Ma nene Toraja
Terimaksih om Fyant

 

kuburan batu toraja
Lo’ko Pangala’ | Dok Pribadi

 

penggantian baju mayat toraja

 

prosesi Ma nene Toraja

 

Ma nene Toraja

 

tedong toraja
Kerbau Toraja | Dok Pribadi

 

Ma nene Toraja

 

Ma nene pangala

 

Ma nene Toraja
Ma nene Toraja
rumah tongkonan om fyant
Tongkonan keluarga om Fyant | Dok Pribadi

Direvisi :
15 September 2018 pukul 01.39 am
5 Februari 2019 pukul 01.08 am

Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Air Terjun Jaksa di Kecamatan Cisarua, Kota Bogor, Destinasi…

Lilpjourney.com | Air Terjun Jaksa – Salah satu air terjun yang menarik untuk dikunjungi wisatawan di Kota Bogor adalah Air Terjun Jaksa. Wisata ini...
Lilpjourney
1 min read

50 Replies to “Ma Nene Toraja : Cerita Mayat Berjalan Toraja”

  1. Serem-serem asyik ya perjalanannya mbak. hihihi
    Pasti seru rasanya bisa menghadiri acara adat yang cuma diselenggarakan beberapa tahun sekali ini

  2. dulu aku lihatnya juga serem. Tapi sekarang habis baca penjelasan di blog ini aku juga ga merasa serem. Sebenernya ajaran memuliakan yang sudah tiada itu ada di beragam suku dan adat

    1. bener mba, setiap suku punya caranya masing2 dalam memuliakan leluhur dan salah satu yang terus menjaga adatnya ialah Toraja ini

      ayok main ke Toraja

  3. "Jadi Indonesia itu bukan melulu tentang pantai dan pegunungan. Indonesia adalah paket lengkap."
    Setuju banget sama iniii! Gue sendiri lebih suka eksplor kota. Karena menurut gue, setiap kota itu selalu punya cerita.

    Mungkin acaranya butuh biaya besar kali ya makanya diadakan setelah masa panen. Tapi, eeerrr, agak ganjil juga sih foto sama mayat gitu :))

    Kak, gue suka tulisanmu. Naratif, rapi, enak dibaca, dan EYD-nya bener. Gue biasanya nggak betah baca tulisan soal budaya adat, tapi tulisanmu ini gue baca sampai habis tanpa ada yang gue skip. Salam pertemanan. Senang menemukan blogger lain yang menemukan kata "gue" sebagai sudut pandang pertamanya :))

    1. kalau perlu biaya besar, sebenarnya lebih perlu Rambu Solo' (penguburan). Tapi mungkin memang sudah adatnya (melihat dari sejarah pelaksanaan acara ini) sebagai wujud syukur mereka.

      Awalnya juga merasa 'aneh', tapi setelah melihat langsung beda banget kesannya.

      terimakasih sudah membaca yaaa ^^ salam pertemanan

  4. Wah pas banget yah momennya kak. Pas ada upacara adat. Aku pas kesana salah tanggal jadi aku nggak bisa liat acara adat hehe. Semoga next bisa kesan lagi. aamiin

    1. Rekomended kesana ini antara Juni-Desember. Tapi kalau mau dapet banyak event ya di Desember. Follow ig dinas pariwisata nyaaja sih kalau mau kesana pas banyak event @visittorajautara

  5. Toraja jadi salah satu destinasi impian banget nih
    Nyesel juga pas masih di Makassar dulu gak menyempatkan diri melipir ke Toraja huhu
    Beruntungnya mbak bisa mengikuti upacara adat "Ma Nene" ini
    Mengenal Indonesia dengan lebih dekat

    1. Wah sayang ya, padahal sudah sedekat itu buat mampir ke Toraja.
      Iya kak untung banget kemarin dapat info dan bisa datang ke acara Ma'Nene' ini.
      Kalau mau melihat jadwal acara adat Toraja bisa follow IG @visittorajautara

    1. jadi kak sebelum diadakan ma' nene' terlebih dahulu ada yang namanya rambu solo'. setelah orang meninggalkan keluarga akan berkumpul, lalu jenazah ada dibungkus kain 'balun' dengan rempah. tapi sekarang ada (katanya) juga yg pakai atau ditambahkan zat kimia (mohon koreksi bila ada pembaca yang lebih paham). tapi untuk mumi yang ratusan tahun kemungkinan memang masih tradisonal banget pakai rempah.

      nah rambu solo' itu biasanya perlu waktu (bisa puluhan tahun) untuk pelaksanaannya karena biaya yang besar. nah pengawetan itu sebenarnya sudah terjadi saat menunggu rambu solo ini.

  6. walaupun masih kurang literasi, tapi memang sangat beruntung bisa melihat langsung acara langka seperti ma' nene' yang hanya ada di Indonesia ini kak.

    terimakasih telah berkunjung kak ^^

  7. Jadi ada rencana ke Toraja lagi, kapan nih? Saya jadi mau ikut …
    Ngeri2 penasaran. Tapi bener kudu ada teman di jalan nih. Khususnya teman di penginapan hehehe…

  8. Seram ya mba, hihihi unik banget dan betapa kaya budaya negeri kita, nggak habis untuk dieksplorasi, sayang sekarang tiket pesawat mahaal huhu piluuu

  9. Toraja termasuk wishlist nih. Pernah ada yg cerita ttg upacara penguburan ini. Ternyata dipapah yah. Ada yg bilang "jalan" sendiri, pakai ilmu magic gitu. Trus yg papasan engga boleh komen. Kalo komen = kesurupan.
    Huf…baca blog kakak jadi jelas deh. Makasih ya sharingnya…

    1. kalau penguburan itu rambu solo' kak. tapi kalau ini bukan penguburannya ya. tapi lebih kaya membersihkan makam dan menggantikan baju jenazah yang sudah di makamkan gt kak.

      beberapa cerita memang ada yang 'magis'. tapi saya sendiri melihat secara langsung belum menemui yang seperti itu kak. hehehe

      yuk nanti lihat acara ini…2021 hehehe

    1. awalnya saya juga berpikir 'seram' tapi semakin digali budayanya, semakin bikin saya betah di Toraja. hehehe

      itulah Indonesia kak. Terlalu banyak keanekaragamannnya. sampai tak pernah habis di telusuri

  10. Aku prnh ke Toraja pas ngak ada ritual apapun, jadinya sepi. Besok2 harus dtng pas ada hal unik jd lebih terasa wisatanya bermnfaat. Makasih neh artikelnya nambah pengetahuan banget.

  11. Aku baru tahu nih tentang ritual Ma'Nene'
    Pas dibuka gitu, bau nggak sih? Aku lihat di foto ada yang pake masker.
    Tapi tampilannya nggak serem-serem amat sepert di film-film tentang mummy lho.

    1. enggak bau sih kak karena sudah jadi mummy.
      cuma berdebu makanya pakai masker.

      nggk ada serem sih kak, malah suasananya haru karena kaya reuni gitu kan. cucu yang belum pernah ketemu kakek jadi bisa ketemu.
      pokoknya jauh dari kesan 'serem' deh

  12. Setuju banget, Indonesia itu paket lengkap. Ya pantainya, ya gunungnya, ya budaya dan adat istiadatnya selalu unik dan tersemat moral lessons di dalamnya.

    Btw, ma nene ini diadakan awalnya 10 tahun sekali, trus berubah menjadi 3 tahun sekali. Apa biayanya mahal ya?

    Kok lihat foto bareng ama mayat gitu, apalagi ini dini hari mendadak agak gimana gitu. Hehe

    1. alasannya kalau dulu diadakan dengan melihat bulan (bulan dalam tata surya). kalau berbicara mahal, lebih mahal biaya rambu solo kak

      hehehe
      serem sih kalau malam. untung acaranya siang hehehehe

  13. Terima kasih ulasannya ya mba Putri tentang ma mene toraja ini. Meski sudah sering mendengar ttg ritual ini membaca ulasan ini menjadi pengetahuan sejarah tersendri buat saya. Sangat lengkap

    hhtps://www.ngopisetengahgelas.com

  14. Baru tahu kalau proses ritual pemakamannya disebut ma' nene'. Nggak serem kah mba nonton langsung gitu meskipun banyak orang sih. Tapi uniknya budaya leluhur Indonesia ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *