Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Mungkin Kami Belum Pantas

16 min read

Mungkin kami belum pantas

Pagi ini aku bangun dengan perasaan ingin menyalahkan Tuhan. Patah hati kembali menyerangku kemarin. 

Aku sudah merasa ada yang aneh di tubuhku sejak duduk di bangku SMK. Namun saat itu aku selalu membangun prasangka positif. Mungkin wajar. Terlebih saat aku ke dokter kandungan dan menunjukkan hasil yang normal.

Namun kemarin sore, aku hancur. Hancar berkeping-keping dan ingin menyalahkan diriku sendiri. Mungkin kami belum pantas, pikirku.

Jadi pagi ini aku putuskan menyalakan komputer dan memutur beberapa lagu, kemudian login ke halaman blogku. Aku perlu pelepasan.

Kakek dan Nenek, Maafkan Aku yang Pesimis pada Jalan Tuhan

Aku tidak kenal siapa ibuku. Yang aku tau dia tidak pernah hadir dalam tumbuh kembangku. Yang aku tau, walaupun aku tak mengenalnya sosoknya sering aku rindukan. Putri kecil pun pandai berbohong.

Saat orang bertanya kapan ibu pulang, aku selalu menjawab “nanti saat ulang tahunku”. Mungkin sejak itulah aku menganggap bahwa ulang tahun adalah momen paling berharga. Hingga aku juga memilih ulang tahun sebagai tanggal aku menikah.

Saat aku mulai SMP, sosok itu mulai hadir. Memberikan perhatian, memberikan telinga, dan waktu. Aku pun terbuai hingga lupa bahwa kakek dan nenek sudah memberikan dunia mereka untukku.

Aku sadar kakek dan nenek bukan manusia sempurna. Nenek yang galak, kakek yang lembut. Selalu seperti itu. Aku pernah melihat kakek marah ke nenek karena nenek memarahiku. Saat itu kakek bahkan sampai mengangkat kursi. Aku tau betapa mereka mencintaiku. Betapa nenek pernah cemburu ke cucu dari almarhum anak laki-laki dia satu-satunya.

Tapi aku, dengan cerobohnya memilih meninggalkan mereka. Aku takut jika bersama kakek dan nenek yang sudah memperlakukan aku seperti ratu, aku tidak bisa melanjutkan sekolahku. Aku lupa bahwa aku cukup pintar. Aku bisa saja memperoleh beasiswa seperti saat di sekolah dasar dan SMP.

Hingga akhirnya tahun 2009 aku memilih pindah. Keputusan itu aku ambil setelah liburan pertamaku ke Tanah Laut, Kalimantan Selatan saat libur semester awal tahun 2009. Sosok yang aku kenal sebagai “ibu” ini pun membuaiku dengan banyak rayuan yang mungkin sulit diwujudkan oleh kakek dan nenek.

Kakek dan nenek hanya seorang petani. Aku takut menggantung harap yang terlalu tinggi. Mungkin waktu itu aku lupa bahwa Tuhan selalu ada. Ia tidak akan meninggalkan hamba-Nya. Aku ingin mengucap seribu bahwa milyaran maaf untuk kakek dan nenek. Maaf Putri egois. Maaf Putri jahat.

Tapi aku tidak ingin memutar ulang waktu. Karena hal itu mustahil. Walau acap kali aku berpikir :

Andai aku dulu tidak pindah apa yang terjadi? Apakah blog lilpjourney ada dengan semua petualangannya? Apakah aku akan bertemu dengan suamiku?

Suamiku. Kata itu selalu membuat aku bersyukur. Ia jauh dari kata “menantu ideal”. Tapi aku tau ia selalu tulus, ia selalu ada, dan dialah support system aku saat ini. Dan dialah yang memelukku dalam situasi terburuk.

Dia yang Dipanggil “Ibu”

Sosok itu begitu hangat. Aku selalu melihatnya tersenyum. Tapi saat ini tidak. Dia bahkan memblokir semua kontak WhatsApp ku. Semarah itulah “ibu”. Mungkin ibu berekspektasi terlalu tinggi kepadaku. Dia membingkai aku sebagai anak yang cerdas, berprestasi, dan tidak akan menuntut apapun. Mungkin.

Beberapa ingatan buruk silih berganti kemarin.

Saat aku pindah ke Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ke rumah “ibu” untuk pertama kali. Aku dijemput dengan bahagia. Walau beberapa waktu harus canggung dengan ayah tiriku. Tapi lingkungan ini asing bagiku. Aku pun secara perlahan menjadi sosok yang tertutup.

Saat ibu marah pertama kali, sosoknya menyeramkan. Itulah yang aku ingat. Aku hanya anak remaja biasa. Anak SMK yang sedang mencari jati diri. Maaf jika tulisan ini akan menjadi subjektif dan hanya pembenaran diri semata.

Sosok ibu yang sering marah, bahkan kadang tanpa sebab, membuat aku semakin enggan mendekat. Ia lebih suka menyindir di balik tembok kamar rumah dengan suara nyaring dari pada mengajak aku diskusi. Aku kecewa, aku takut, dan aku marah. Keesokan harinya, saat ia tidak menegurku, aku berangkat sekolah dengan perasaan campur aduk. Hingga untuk pertama kali, terlintas keinginan “minggat”. Entah apa tujuanku saat itu.

Ibu juga pernah menyindirku dengan Bahasa Jawa halus, saat telpon nenek di Tulungagung. Lagi-lagi sepertinya ibu berekspektasi terlalu tinggi tentang anak pertamanya yang dititipkan pada kakek nenek, setelah suaminya meninggal.

Anu nggeh mak, Puput mboten saget nopo-nopo nggeh. Mboten saget nyambut gawe wonten griyo. (Itu mak. Puput tidak bisa apa-apa ya. Nggak bisa mengerjakan pekerjaan rumah).

Saat itu aku ingin membuat pembelaan bahwa sejak kecil kakek dan nenek selalu melakukan aku seperti putri sungguhan. Tugasku hanya belajar dan belajar. Aku jarang ada di dapur kecuali untuk masak. Pisau adalah hal asing untukku. Mencuci piring? Aku bisa. Tapi nenek selalu menyuruhku belajar dan belajar. Mencuci baju? Sejujurnya aku tidak bisa.

Dari aku bangun tidur hingga aku tidur, kakek dan nenek selalu menyiapkan apa yang aku butuhkan. Bahkan aku ingat, kakeklah yang menyemir sepatuku. Beliau juga yang sering membersihkan sepedaku. Aku sangat beruntung bukan? Atau aku ini sangat tidak tau diri? Entahlah. Karena begitulah kakek dan nenek memperlakukanku.

Drama Kabur dari Rumah

Lagi-lagi aku terpikirkan kalimat : “mungkin kami belum pantas”. Mungkin aku dan ibu belum pantas bersama. Ekspektasiku ke ibu juga terlalu tinggi. Aku berekspektasi ibu adalah sosok yang lembut dan akan selalu memberikan apa yang aku mau seperti nenek.

Dulu aku sering membonceng nenek. Kaki beliau memang tidak kuat untuk jalan jauh. Asam urat menggerogoti kaki beliau. Ah aku rindu nenek. Aku ingin mencium kakinya saat ini. Saat itu sudah tanggal bayar SPP sekolah. Aku mengayuh sepedaku dengan nenek yang memegang pinggang kecilku. Mungkin beratku saat itu hanya 40kg.

Kadang kami pergi ke warung sembako, kadang kami ke koperasi desa sebelah. Kalau ke warung sembako, maka tujuan nenek saat itu adalah menjual beras atau mungkin sayur hasil sawah kakek. Jika ke koperasi, maka sudah dipastikan nenek sedang mengambil pinjaman yang tidak seberapa. Asal cukup untuk kebutuhan sekolahku. Jika ingat perjuangan kakek dan nenek, betapa kurang ajarnya aku yang egois meninggalkan mereka untuk tinggal dengan ekspektasi mendapat sosok ibu yang baik dan dapat memenuhi keinginanku.

Aku juga tidak ingin melihat kakek dan nenek terlilit hutang karena aku. Atau seperti kata tanteku (adik almarhum ayahku), kakek dan nenek akan menjual tanah untuk kebutuhan sekolah SMK dan membelikan aku motor. Oh Tuhan, maafkan aku yang egois dan meninggal kedua sosok renta itu. Mungkin ini hukuman untukku.

Ibu, jika ibu tau perjuangan kakek dan nenek untuk membesarkan aku dan memberikan pendidikan yang kayak, apa ibu masih menyalahkan mereka?

Aku kabur dari rumah ibu untuk pertama kali. Aku tidak ingat saat itu hari apa. Setelah pulang sekolah, aku memacu motor Vario milik ibu ke luar kota. Ada satu tempat yang aku tuju saat ini. Rumah tante. Tante atau sering aku sapa dengan “Mbak”, adalah adik dari almarhum ayah. Beliau tinggal satu kabupaten dengan ibu. Jarak rumah mereka cukup jauh. Harus menempuh perjalanan 30 menit.

Saat aku datang, tentu tante dan om kaget bukan main. Aku cerita semuanya. Ibu menyindir aku yang pergi jalan-jalan dengan teman-teman ke pantai tanpa izin. Saat itulah untuk pertama kali aku sadar, bahwa ibu tidak pernah bertanya. Tapi beliau selalu tau karena ada ribuan mata-mata beliau. Entah apa tujuannya. Mungkin dia tidak percaya dengan anaknya sendiri. Lebih percaya dengan adik iparnya, adik dari ayah tiriku.

Bude menjemputku. Bukan ibu pikirku. Semakin lama aku tinggal dengan ibu, aku sadar seperti apa sosok ibu sebenarnya. Guruku di SMK yang sering menanyakan perihal kabarku pernah berkata seperti ini :

Kamu itu awalnya seperti tamu. Keluargamu mengeluarkan semua hal mewah di awal. Mereka memanjakanmu. Tapi lama-lama manusia lelah. Yang mewah juga lama-lama akan habis. Jika awalnya kamu dijamu dengan daging, mungkin di akhir kamu akan melihatan keadaan terburuk. Dijamu dengan nasi dan garam. Tapi begitulah manusia.

Aku dan ibu semakin jauh. Ia semakin tidak ingin aku dekati. Hari demi hari aku membangun satu persatu tembok.

Drama saat Kuliah

Aku kabur lagi. Begitulah. Semester dua kuliah di Banjarmasin, aku menjadi sangat aktif. Aku ikut kegiatan mahasiswa. Saat itu aku sedang ikut persiapan Pekan Olimpiade Komputer Se-Kalimantan Selatan dan Tengah. Kalian tentu tau rasanya seperti apa saat-saat awal kuliah. Oh iya, saat itu aku juga sudah bekerja di RRI Banjarmasin. Gajinya lumayan. Setidaknya bisa aku pakai untuk uang jajan.

Selama aku sekolah di SMK sampai kuliah, uang menjadi masalah yang sensitif untuk ibu. Aku tidak ingin merengek minta uang jajan dan membuat ia semakin merasa terbebani karena aku.

Saat kegiatan Pekan Olimpiade Komputer Se-Kalimantan Selatan dan Tengah, itu aku pulang larut malam. Aku baru saja sampai di depan asrama polisi om tiriku. tempat aku menumpang tinggal selama kuliah. Di rumah itu ada tiga orang. Aku, om tiriku yang polisi, dan om tiriku yang kuliah di perawat. Om tiriku yang perawat masih muda. Selisih umur kami hanya 2 tahun.

Ia lah mata-mata ibuku. Entah tujuannya apa. Mungkin untuk mencari topik pembicaraan atau mencari perhatian ibu yang dulu pernah merawat dia seperti anak sendiri.

Tiba-tiba saat aku masuk ia pura-pura memejamkan mata. Ku pikir ia sedang berbincang dengan pacarnya. Aku yang masih menggunakan jas alamamater kampus langsung masuk kamar. Sayup-sayup terdengar suara ia sedang menelpon. Dia berucap dengan lirih : nggak tau dari mana, baru pulang tuh. Aku mendidih mendengar ia bicara tanpa bertanya!!! Ah rupanya ia belajar seperti itu, suka menyindir lewat tembok yang punya telinga. Hahaha.

Keesokan harinya, aku meminta dia mengantar aku ke kampus. Ia aku ke kampus! Aku pulang larut karena persiapan Pekan Olimpiade Komputer Se-Kalimantan Selatan dan Tengah. Aku senang melakukan itu, aku senang bertemu teman-teman baru. Tapi sayangnya, meminta dia mengantar aku ke kampus untuk melihat kegiatanku tidak memuaskan akal sehatnya.

Lagi-lagi malam itu, aku mendengar ia melakukan panggilan telepon yang entah dengan siapa. Kali ini kalimatnya lebih sarkas : baru jemput ke kampus, nggak tau ngapain, masa ada kegiatan kampus sampai tengah malam, aneh. Kali ini aku mendidih bukan main. Aku marah!

Aku kabur lagi dari rumah. Tiga hari. Pergi ke rumah teman di Tanah Laut. Ia aku kabur ke kota di mana orangtuaku tinggal. Setelah bude lagi-lagi mencari keponakannya yang kabur, aku kembali. Pulang ke rumah ibu. Ibu marah lagi. Aku tidak ingat ia berkata apa.

Meledak, Ia Memukul Darah Dagingnya Sendiri

1 Desember tahun 2013, aku kecelakaan untuk kedua kalinya. Aku pernah kecelakaan saat SMK dulu. Diserempet orang. Padahal saat itu aku sedang ingin pergi ke rumah teman untuk mengerjakan PR Bahasa Inggris. Di belakang motor, ada adik perempuanku. Setelah ibu menikah lagi, aku punya dua adik, laki-laki dan perempuan. Aku khawatir keadaan adikku seperti apa. Ternyata adikku baik-baik saja. Sedangkan motor yang naiki juga baik-baik saja. Aku? Pada kaki kiriku ada beberapa jahitan, pada daguku juga ada jahitan, dan juga pada pelipis kiriku.

Tapi kecelakaan tahun 2013 ini berbeda. Aku harus masuk ruang operasi yang dingin untuk pertama kalinya. Aku khawatir, aku akan menghabiskan uang orangtuaku. Lima bulan berlalu. Tepat 1 Mei 2014, ibu dan ayah ke Banjarmasin.

Tiba-tiba bagai disambar petir disiang bolong dia menarik rambutku yang saat itu sedang mendekorasi kamar. Di marah. Yang aku ingat : kamu tidak mikir ya perasaan ayahmu seperti apa? ibu malu! Kemudian saat aku mencoba menjelaskan, lagi-lagi dia marah. Dia memukul wajahku untuk pertama kalinya. Dan aku pastikan ini yang terakhir.

Aku malu. Malu dengan tetangga yang mendengar ibu marah-marah. Bahkan saat ayah tiriku menenangkan beliau, ibu menjawab : biar aja, biar semua orang tau.

Padahal jika aku boleh membuat pembelaan diri, saat itu aku dan koko tidak melakukan apapun. Koko mampir ke asrama polisi itu untuk membantuku mendekorasi kamar. Sungguh. Pintu kamar terbuka, jendela terbuka. Apa yang mau kami lakukan?

Oh iya, kamar yang aku tempati di asrama polisi itu adalah sebuah kamar yang besar. Di dalamnya ada dua buah tempat tidur dan dua lemari. Tempat tidur dekat jendela adalah tempat tidur om tiriku yang kuliah perawat. Sedang tempat tidur yang satunya adalah punyaku. Lalu di luar kamar ada tempat tidur lagi. Tempat tidur itu digunakan oleh om tiriku yang polisi.

Pernah suatu ketika ada sebuah pemandangan pagi yang tak seharusnya aku lihat dan tak seharusnya mereka pertontonkan. Aku bangun, turun dari tempat tidur. Oh om tiriku yang perawat ternyata sedang tidur ditemani pacarnya. Keluar dari kamar, om tiriku yang polisi juga masih terlelap. Disisinya ada perempuan yang entah siapa lagi.

Aku melihat pemandangan seperti itu dan dituntut untuk tidak gila.

Sedangkan aku saja dijemput laki-laki untuk nonton, mereka sudah marah. Om tiriku yang polisi pernah memarahi temanku yang mengajak aku jalan-jalan ke mall. Mall adalah tempat yang mewah bagiku. Di Tulungagung tidak ada mall, di Tanah Laut tidak ada mall. Teman-temanku juga bukan orang jahat. Aku cukup pandai memilih teman, pikirku. Alhamdulillah sampai sekarang aku masih berteman dengan mereka, walaupun mereka tentu menyimpan pengalaman pahit itu.

Andai ibu tau kelakuan mereka, apa yang ibu lakukan? Andai ibu tau aku pernah tidak makan dua hari apa ibu masin menuntut aku sering pulang ke rumah ibu? Ibu, jangankan untuk beli bensin untuk pulang pergi Banjarmasin-Tanah Laut, untuk makan saja kadang aku kesusahan. Ibu pernah nggak terpikirkan bagaimana keadaan ku saat tinggal dengan om tiriku yang polisi? Ibu pernah nggak pengen nanyain aku punya uang apa enggak.

Setelah kejadian ibu yang marah-marah di asrama, aku memutuskan untuk mencari kos-kosan. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa mandiri dan nggak seperti yang ibu tuduhkan.

Walaupun nasihat seorang teman menghujamku : jangan melakukan sesuatu sebagau pembuktian ke orang lain. Aku cuma tersenyum.

Uang

Saat aku kuliah, aku perlu uang. Uang kuliah sudah terjamin walau untuk memintanya perlu perjuangan dan menebalkan telinga. Untuk kebutuhan sehari-hari aku kerja. Kerja di RRI hanya tiga bulan. Ibu mengira kesibukan aku di RRI lah yang membuat aku jarang pulang ke rumah. Padahal aku nggak punya cukup uang untuk beli bensin. Aku juga nggak mau harus minta uang ke ibu dan mendengar ibu ngomel.

Sebelum kejadian ibu marah dan memukul aku, aku sudah bekerja di tempat baru. Tempat yang dari segi gaji lebih terjamin dan cukup untuk aku belanja.

Saat aku kabur, aku merasa sudah punya pegangan yang cukup. Kali ini aku kabur hampir 4 bulan. Lagi-lagi bude yang mendamaikan kami. Prosesnya pun dramatis. Pada malam hari raya tahun 2014, aku pulang ke rumah. Ibu dan semua orang di rumah ternyata sudah pergi ke rumah kakek. Akhirnya aku mengungsi ke rumah bude yang rumahnya di sebelah rumah ibu.

Di rumah bude aku menyimpan semua cerita. Aku memilih untuk diam. Tidak ingin cerita pemukulan itu terdengar siapapun. Harus aku yang salah, jangan ibu. Bude hampir pingsan saat ibu menghempas aku sekuat tenaga yang sedang memeluk kakinya. Setelah melihat bude yang hampir pingsan, ibu baru tenang. Dia duduk di kursi. Aku menghampirinya. Duduk di bawah sambil memeluk kaki beliau.

Kalimat yang aku ingat hanya ini :

Kalau bukan karena bude, ibu nggak akan maafin kamu. Ibu lebih baik kehilangan anak dari pada keluarga. 

Walaupun saat itu mereka memberikan syarat agar aku pulang ke asrama, aku tidak melakukan hal konyol itu. Malu sama tetangga. Toh aku sudah pernah mengusulkan untuk membuat sekat kamar dan ibu tidak mau. Padahal aku sudah susah payah mengumpulkan uang. Aku tidak ingin melihat hal toxic lagi.

Tujuh bulan setelah aku memilih kos, aku beli motor baru. Satu persatu barang dari ibu aku kembalikan. Laptop juga sudah aku tinggal di rumah ibu. Setelah beli motor baru, aku mengembalikan motor Vario ibu. Aku menata hidupku. Pelan pelan aku beli peralatan dapur, sampai televisi dan iPhone. Pindah dari kos digang sempit ke kost yang cukup mewah.

Dari mana uang tersebut? Bos ku dikantor adalah seorang perempuan single. Beliau tau hampir seluruh kisah hidupku. Hampir 60% uang motor baruku dari beliau.

Kemudia, aku beli rumah. Rumah dengan lantai kayu dan tembok plester. Rumah atas namaku sendiri.

Ibu, di akhir cerita tentang sosokmu yangs semakin tidak aku kenal ini. Aku hanya ingin ibu tau. Bahwa seperti apapun ibu, ibu tetaplah ibuku. Tidak bisa dibuang dan tidak bisa dihapus. Akan begitu seterusnya.

Ibu, Putri bukan anak tidak berakhlak yang lupa dan tidak menghargai orangtuanya. Putri hanya takut dan lelah kalau harus ke psikiater lagi seperti dulu. Bukan karen Putri sudah menikah lalu Putri semakin kurang ajar saat ibu marah tidak mau minta maaf. Tapi Putri lelah dengan polanya. Polanya selalu sama. Dramanya selalu sama. Dipermalukan di depan keluarga, tanpa diberikan kesempatan. Putri malu kalau suami Putri tau keadaan yang seperti itu.

Maaf Putri tidak pulang. Putri takut dengan kemarahan ibu. Maaf Putri pengecut. Tapi Putri lelah.

Menikah

Sejak awal aku tau. Menikah dengan dia bukanlah yang ibu mau. Sosok menantu ideal untuk ibu tentunya bukan seperti yang aku pilih. Tatoan, rokokan, dan seperti anak punk rock. Well, katanya jodoh itu cerminan diri. Nyatanya aku memang suka dengan laki-laki rock and roll itu.

Walaupun terlihat serampangan. Tapi jujur. Dia dan aku berbeda. Dia lebih berbakti pada orangtuanya. Aku berani taruhan, dia lebih mencintai ibunya dari pada aku mencintai ibuku.

Saat harus mengatakan aku memilih laki-laki itu pun, sangat sulit. Walaupun ibu bilang ibu memberi restu. Nyatanya tidak seperti itu. Aku mendengar sebuah kabar, kalau ibu pergi ke beberapa orang yang katanya alim. Meminta agar aku dan dia berpisah. Ah pantas saja, saat ibu tau kami bertengkar aku mendengar nada suara ibu di telepon terdengar bahagia.

Jujur, aku masih tidak habis pikir bisa menceritakan kisah panjang ini.

Setelah aku menikah ibu marah. Padahal menurutku, seharusnya semua selesai. Hanya gara-gara aku mengantar teman yang jauh-jauh dari Makassar datang kepernikahanku ke bandara. Dia datang dari Makassar, sendirian. Dia perempuan. Dia memberikan service video gratis. Tidak mau aku bayar sepeserpun. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Mengantar dia ke bandara. Dan ibu marah karena aku dan suami telat pulang? Ibu, saat itu hujan deras. Aku harus ke Banjarmasin setelah mengantar teman. Aku harus mengambil motor karena h+3 menikah aku harus kerja.

Saat itu benar-benar hujan deras. Aku dan suami tidak punya pilihan selain menunggu hujan reda. Ah aku lupa, hari itu ada selamatan penutut acara pernikahan. Ibu marah karena kami tidak menembus badai malam itu.

Mertua

Sampai tulisan ini aku tulis, ibu masih marah. Dia masih memblokir nomorku. Bahkan saat suamiku mengirim pesan ke beliau, beliau memberikan sebuah petuah : percuma pintar jika tidak berakhlak. Ibu, akhlak anak adalah tanggungjawab orangtua. Saat aku kecil, aku tumbuh bersama kakek nenek. Menjadi cucu kesayangan yang selalu berprestasi. Saat dengan ibu, aku yang remaja menjadi pemberontak. Harus kemana aku meminta pertanggungjawaban? Atas akhlak yang tidak aku punya?

Maaf saat lebaran 2021 kemarin Putri dan suami tidak pulang. Suamiku harus pergi kerja h+2 lebaran. Sedangkan aku terlalu penakut untuk pulang dan menghadapi amarah ibu sendiri. Aku lelah bu. Bisakah kita berdamai tanpa ibu yang marah-marah? Tidak bisakah kita berdamai tanpa ibu harus mempermalukan Putri di depan banyak orang? Tidakkah cukup ibu bercerita tentang apa yang menurut ibu buruk ke mertua Putri bahkan saat diacara ngunduh mantu?

Sore itu setelah pulang kerja, aku mampir ke rumah mama. Entah kenapa aku ingin main ke rumah beliau. Suami sedang di luar kota. Membawa buah semangka dan bingka untuk buka puasa. Aku duduk di dekat pintu dapur. Beliau sedang masak untuk buka puasa. Tiba-tiba beliau tanya : ibu mu orang yang pemarah ya? Lalu semua percakapan itu meluncur. Semua cerita. Aku bersyukur, beliau tidak mengambil sesuatu yang buruk.

Mungkin Kami Belum Pantas

Kabar bahagia datang. Setelah pulang dari Bangka Belitung, tepat 2 Juli 2021 aku mencoba melakukan tes kehamilan. Dua garis muncul. Aku dan suami saling berpelukan. Kami bahagia.

Hari Senin, kami pergi ke dokter kandungan. Ternyata ada yang aneh dengan kandunganku. Jika menghitung HPHT, seharusnya saat itu usia janinku 8 minggu. Tapi hasil USG transvaginal menunjukkan usia janin 5 minggu 4 hari. Walaupun sudah ada kantung kehamilan dan janin, tapi dokter menganjurkan kami untuk USG kagi 2 minggu lagi.

Saat USG kedua, dokter memberikan diagnosa jika kemungkinan janinku tidak berkembang. Hasil USG menunjukkan usia kehamilan 7 minggu 1 hari. Tidak normal. Begitulah tutur beliau. Akhirnya beliau menganjurkan untuk USG 2 minggu lagi. Suamiku yang tidak suka dengan cara dokter menyampaikan diagnosa tanpa memberikan alasan, hanya janin kemungkinan tidak berkembang, tidak ingin datang ke sana lagi.

Kami memutuskan pergi ke klinik bersalin. Betapa kagetnya aku melihat hasil USG menunjukkan usia kehamilan mundur menjadi 6 minggu! Aku pun panik. Dokter di klinik lagi-lagi memberikan saran untuk USG dua minggu lagi. Suami yang tidak puas dengan hasilnya pun memilih untuk pergi ke dokter lain.

Selama 5 minggu kami pergi ketiga dokter.

Dokter terakhir adalah, dokter langgananku. Dokter Hariyadi. Beliau bertugas di Rumah Sakit Sari Mulia Banjarmasin. Dulu aku pernah konsultasi karena masalah menstruasi dan keputihan yang mengganggu.

Waktu pertama konsultasi tahun 2014, aku yang baru duduk dipaksa cerita. Hehehe. Lagi stress ya kata beliau. Ceritaku tidak detail. Tapi beliau sepertinya sosok dokter senior yang juga menguasai ilmu psikologi. Hasil USG tahun 2014, menunjukan tidak ada yang aneh dari rahimku. Bersih dan tidak ada penyakit. Kata beliau, mungkin faktor hormonal dan stress. Bagaimana tidak setress kalau mengalami kejadian seperti di atas.

Tujuh tahun tidak bertemua. Sosok beliau masih sama. Dokter yang ramah dan juga relijius. Kemarin sore, aku dan suami membuat janji temu dengan beliau. Sebelum masuk ke ruang USG, beliau memberikan pengantar tentang kehamilan. Seperti bagaimana tanda kehamilan normal. Mungkin beliau sudah mendapat firasat bahwa pasiennya kali ini mempunyai masalah kehamilan.

Setidaknya untuk usia kehamilanku yang dihityung dari HPHT, usia kandunganku sudah 15 minggu jalan 16 minggu, harus sudah ada :

  1. Kantung kehamilan
  2. Janin di dalam kantung kehamilan
  3. Harus sudah ada detak jantung
  4. Akan ada gerakan bayi dalam kandungan

Aku sudah mempersiapkan semua kemungkinan terburuk. Saat USG biasa, dokter menemukan kantung kehamilanku kosong. Janinnya tidak ada. Kemudian belia memberikan saran untuk USG transvaginal. Baiklah. Dibantu oleh seorang perawat perempuan, aku melakukan USG transvaginal untuk ketiga kalinya. Jujur aku cukup nyaman dengan prosedur di sini. Walaupun USG transvaginal. Tapi benar-benar tertutup dan steril.

Tempat USG nya bukan tempat tidur. Tapi seperti kursi dengan celah pada bagian tengahnya dan bisa direbahkan dan dinaik turunkan. Setelah melepas celana, perawat memberitahu aku untuk menggunakan kain sarung saat keluar ruang ganti. Kemudia aku duduk lagi di kursi USG yang sudah diberi penutup plastik. Kemudian siperawat menutup lagi kakiku dengan selimut. Well, aku merasa cukup “aman”.  Perempuan tentu paham rasanya bagaimana sungkan melakukan tindakan medis yang melalui jalan lahir.

Dari USG transvaginal, kami mendapatkan kepastian. Bahwa benar, kantung kehamilanku kosong. Kemudia, dari USG transvaginal dokter juga menemukan ada miom. Ukurannya tidak besar.

Belum Rezeki

Setelah selesai USG transvaginal, aku dan suami duduk lagi di ruang konsultasi. Di sana beliau menatap mata kami lekat-lekat. Sorot mata dan setiap kalimat yang diucapkan oleh beliau begitu menenangkan. Hingga kabar buruk yang kami terima pun bisa aku terima dengan cukup baik. Sangat kontras dengan dokter kami yang pertama.

Walaupun hasil diagnosis kedua dokter ini sama. Tapi mereka punya cara penyampaian yang berbeda.

Benar. Hasil akhirnya kami harus rela. Bahwa rezeki itu hanya hadir sejenak. Mengisi kami untuk melihat bagaimana kami tumbuh. Aku harus melakukan tindakan medis kuret. Karena hasil dari diagnosisnya kehamilanku tidak berkembang dan menghasilkan blighted ovum atau hamil kosong yaitu kehamilan yang tidak mengandung embrio.

Setiap penjelasan dari beliau kami simak dengan siksama. Mulai dari proses kuretas, dan risiko. Dalam waktu dekat, setidaknya kurang dari 2 minggu aku harus segera melakukan kuret. Bukan tidakan mendesak kata beliau. Tapi sebaiknya segera. Beliau khawatir kalau tidak segera dikuret maka kantung kehamilannya semakin kecil dan kering. Kalau kering takutnya akan menempel di dinding rahim yang malah bisa mengakibatkan penyakit baru.

Kemudian aku pun menanyakan perihal kapan bisa hamil berikutnya. Beliau pun menjelaskan dengan detail, setelah proses kuret, USG lagi. Bagaimana si miom. Kalau dia mengecil atau bahkan hilang saat prosedur kuret, maka bisa langsung program hamil setelah dua kali menstruasi.

Aku pun masih penasaran dengan si “miom”. Kenapa dokter sebelumnya tidak mengatakan ada miom? Kenapa tidak terlihat? Lantas dokter Hariyadi menjelaskan lagi bahwa bisa saja si moim awalnya tidak terlihat. Mungkin saat itu masih kecil, dan dia membesar seiring besarnya kandungan.

Pada akhir sesi konsultasi beliau menuturkan kalimat yang adem : rezeki itu bentuknya macam-macam, mungkin saat ini belum waktunya, insyaAllah setelah ini akan diberikan yang lebih baik lagi.

Alhamdulillah, akhirnya kami pun mendapatkan penjelasan dengan detail. Kami tau apa masalahnya, apa solusisinya, dan apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Sehat selalu dokter Hariyadi. Sampai jumpa pada kehamilan ku selanjutnya. InsyaAllah Putri ikhlas.

Pengalaman kuret di RS Sari Mulia Banjarmasin sudah aku tulis ya. Selain itu, kalian juga bisa baca rekomendari dokter spesialis kandungan di Banjarmasin.

Tidak Apa-apa

Benar saja, saat di depan dokter tak ada satu tetes air mata keluar. Walaupun aku melihat raut wajah perawat yang menemani proses USG terlihat sedih dan seakan berkata : semangat mba.

Keluar dari bangunan klinik, langkah kakiku terasa gontai. Terasa ada beban yang aku pikul. Ada sedih yang aku coba redam. Suamiku menyusul dari belakang. Dia bertanya mau makan apa. Aku bilang tidak tau. Aku tau dia lapar. Dia baru makan satu kali hari ini.

Oh Tuhan, cobaan ini begitu bertubi. Begitu besarkah dosaku pada nenek dan ibuku? Apa aku begitu banyak melukai perempuan-perempuan disekitarku hingga Engkau memberi cobaan ini?

Sebelum pulang suamiku mengajak mampir beli makan. Nahasnya, makanannya kurang sedap. Aku memesan nasi goreng dan suamiku pesan nasi sop. Yang datang ialang nasi goreng dengan bumbu instan. Sedang nasi sop suamiku terlihat tidak menarik. Bukan indera kami yang mati. Tapi sunggu, ini kurang sedap.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar. Ku hempaskan badanku ke kasur. Suamiku hanya mengelus bahuku. Dia berkata : tidak apa-apa, belum rezeki kita.

Aku pun menangis. Menangis sejadi-jadinya. Aku mencoba ikhlas. Ikhlas yang paling berat setelah dulu harus mengikhlaskan kepergian nenek. Ikhlas yang paling berat setelah melihat kakekku patah hati hari demi hari setelah nenek pergi.

Aku menangis. Bahkan saat menulis kata ini aku menangis. Tapi suamiku selalu berkata : tidak apa-apa, tidak akan ada yang menyalahkan kamu. Aku pun sangat bersyukur Tuhan memberikan aku laki-laki ini sebagai suamiku. Bukan laki-laki yang pernah dijodohkan ibu.

Aku tau perjuangan dia untuk mendapatkanku tidak mudah. Hampir 6 bulan dia aku gantung dalam ketidak pastian. Kenalan 2 Februari 2019, sempat putus kontak. Kemudian ketemuan di acara Propaganda 25 Mei 2019. Tanggal 5 Juli 2019 dia bilang suka lewat chat! Ya ampun aku sampai scroll chat kami. Dan waktu itu aku bilang agar dia fokus selesaiin kuliahnya. Aku tau dia sedang sibuk tugas akhir. Akhirnya setelah menolak peka dari bulan Mei sampai Agustus, aku pun bilan “iya”. Di jalan saat pulang dari kedia kopi Sabar Menanti. 6 Agustus 2019.

Ya Allah aku baru sadar. Tanggal kita jadian, sama dengan tanggal kita mendapatkan kepastian dari dokter kandungan.

Belajar

Dari kejatian ini aku belajar banyak hal. Bahwa menstruasi yang tidak teratur adalah tanda bahwa ada yang salah dari tubuh. Walaupun menstruasiku saat itu tidak pernah sakit.

Dulu aku pernah cerita ke ibu, kenapa ya aku tidak datang bulan. Padahal sebelumnya selalu teratur. Beliau malah balik nanya, dengan nada sarkas. Khawatir kalau mungkin anaknya telah melakukan tidakan ilegal. Aku bilang tidak apa-apa sih. Padahal waktu itu aku sudah merasa ada yang aneh. Ketika aku datang bulan, sangat deras. Bahkan selalu tembus di sekolah. Kemudian aku akan telat datang bulan setelahnya.

Tapi waktu itu ibu bilang tidak apa-apa. Aku pun pasrah. Walaupun takut. Akhirnya aku pun terbiasanya dan menganggap telat datang bukan hal yang menyeramkan.

Di sinilah aku lalai. Walaupun pada tahun 2014 hasil USG ku tidak ada penyakit. Harusnya aku tetap rutin memeriksakan diri.

Teman-temanku yang baik. Dulu tanteku penah kena miom. Aku pun sempat bertanya ke dokter apa penyebabnya, apakah genetik? Beliau dengan tegas bilang sampai saat ini belum ditemukan penyebab pastinya. Tidak dapat mengambil kesimpulan kalau itu genetik.

Waktu tante kena miom, beliau saat itu di Hongkong menjadi TKW. Perceraian telah membuat dia menjadi wanita yang tangguh. Apalagi ada 3 anak yang harus dia beri makan. Saat dia di vonis ada miom, dokter di Hongkong bilang salah satu penyebabnya adalah stress dan pikiran.

Kalau boleh menarik garis merah, mungkin bebanku akhir-akhir ini terlalu banyak. Sering berantem dengan ibu sejak SMK mungkin ada tumpukan stress yang masih menggumpal.

Dear para ibu dan perempuan di luar sana, jika kelak kalian punya anak perempuan. Please lebih care. Terlebih saat mereka punya masalah menstruasi. Jika anak kalian laki-laki, maka didiklah ia menjadi laki-laki yang bisa menerima apapun kekurangn dan kelebihan pasangannya. Karena tidak ada manusia yang sempurna. Tuhan memberikan cobaan pasti tidak akan melampaui batas hamba-Nya.

Dear para orangtua di luar sana. Aku tau rasanya kecewa ketika orangtua menuntut maaf, tapi tidak pernah meminta maaf pada anaknya. Jangan gengsi mengucap maaf pada anak. Jika tidak dengan orangtua, kemana anak akan belajar mengucap maaf? Saat anak salah, kalian marah wajar. Saat marah, mungkin kalian melukai hati anak, atau bahkan fisiknya. Maka tak ada salahnya juga minta maaf. Maaf karena sudah melontarkan kalimat kasar dan mungkin memukul. Maaf nak, orangtuamu juga masih belajar.

Ibu, terimakasih telah menjadi ibu yang terbaik. Aku belajar banyak.

InsyaAllah Putri ikhlas. Bismillah. Mari persiapan untuk tindakan medis selanjutnya. Mungkin kami belum pantas menyandang apa yang disebut sebagai orangtua, saat ini. Yuk mari perbaiki diri. Bisa yuk bisa.

Oh iya sedikit cerita lucu kemarin. Entah kenapa selama seharian kami mendapat ‘zonk’ saat beli makan. Nasi goreng dengan bumbu instan, nasi sop yang kurang sedap dengan ayam rebus yang membuat aku bergidik melihat, lalu makan bakso dan mie ayam yang rasanya not bad sih tapi ‘kurang’, dan terakhir beli chiken salted egg dan rasanya asinnya nggak ada malah manis dari bawang bombai. Aku dan suami cuma tertawa. Hiburan kami datang dari makanan zonk yang kami pilih hehehe.

PS
Peluk dari jauh. 

Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

18 Replies to “Mungkin Kami Belum Pantas”

  1. Peluk jauh yang erat untuk mbak putri. Semoga lekas pulih kembali.. Insya Allah kalau sudah rejeki, akan datang kembali.

  2. Aku turut prihatin atas masa lalunya mbak putri…

    Alhamdulillah dipertemukan dgn lelaki yg baik dan keluarga yg baik

    Aku titip doa yg baik2 saja untuk salah perempuan tangguh pemilik blog ini

    1. Akhirnya aku sadar kak. Bahwa dicintai tidak cukup. Tapi juga harus diterima. Diterima pun tak cukup hanya pasangan, tapi juga keluarga.

      Peluk dari jauh untuk kak Rhos. Semoga selalu sehat ya kak ❤️❤️

      1. Mbak putrii peluk virtual ….semoga engkau dan suami jadi pribadi yg lebih tangguh. Sehat lahir batin. Insya Allah rencana Allah tepat untuk hambaNya.

  3. Speechless pas selesai baca ceritanya, cuma bisa bilang semangattt kak putri, peluk dari jauhhh.. apapun yg terjadi kak putri adalah sosok yang kuat & bertahan hingga sejauh ini, semoga setelah ini ada banyak kabar baik yang datang ke kak putri.. aamiin..

      1. “Beruntungnya menjadi muslim, setiap urusannya adalah kebaikan. Jika dia diberikan kenikmatan dia bersyukur. Jika dia diberikan ujian dia bersabar”.

        Akutu yakin, nanti Putri suatu saat akan menjadi ibu yang baik, sabar, bijak, penyayang, dan selalu dirindukan anak2nya, karena perjalanan hidup yang berat banyak sudah diambil pelajarannya.

        “Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal itu yang terbaik menurut Allah”.

        Semangat ya Put 🙂 bismillah. Pasti kuat

        1. Aamiin mba insyaAllah
          Terimakasih mba fika ❤️ Terimakasih juga sering dengerin curhat random Putri hehehe
          Sehat selalu ya mba dan keluarga aamiin

  4. Ya begitulah Put, masing-masing individu punya story berbeda tentang kebersamaannya dengan ortu. Aku juga sempet sih pengen curhat pasca Papahku wafat. Tapi malah gak jadi curhat, yang ada tulisannya buat reminder bagiku dan para pembaca untuk mempersiapkan diri sebelum ajal tiba..

    Oya, mudah-mudahan promilnya berhasil ya. Semangat!

    1. Iya mba. Jangan simpan dendam untuk siapapun, apalagi orangtua kita. Karena nggak ada yg sempurnakan.

      Terimakasih mba mia ❤️ Sehat selalu untuk mba mia dan keluarga

  5. Hahahahhaa… Bailah Lilp.. selamat kamu dah bikin aku (mau) nangis! bahagia saja dengan caramu dengan izin suamimu.. Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik dan terbaik. Hmmm kate ngomong apa lagi ya.. emmm emmm emmm anuu anuuu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *