Lilpjourney.com | Travel Story – Rindu. Sewaktu melihat linimasa facebook atau story instagram teman-teman Toraja, gue rindu. Apalagi saat Mama Sarjani mengirim pesan singkat di whatsapps. Selalu ingat dengan indahnya toleransi di Toraja, Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo.
Tantangan Menginap di Rumah Tongkonan
Sebelum Toraja digunakan sebagai nama suku dan kota, dahulu Toraja adalah negeri yang berdiri sendiri dengan nama “Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo“ yang artinya adalah negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berketuhanan yang merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/ matahari.
Gue inget dulu om Jay pernah nantangin gue untuk menginap di tongkonan saat gue ke Toraja untuk melihat upacara adat ma’nene‘. Saat itu gue merasa was-was. Apalagi sudah bukan rahasia jika, masyarakat Toraja hingga saat ini masih menjalankan adat leluhurnya. Yaitu rambu solo’.
Sebelum upacara rambu solo’, keluarga yang meninggal jenazahnya akan disimpan di rumah. Masyarakat Toraja percaya bahwa seseorang baru dikatakan meninggal ketika upaca rambu solo’ telah digelar. Jika belum, mereka akan dianggap sedang sakit sehingga hanya bisa tidur.
Jadi menginap di tongkonan, berarti harus siap serumah dengan orang yang sakit. Horor? Mungkin begitulah yang ada dipikiran gue kala itu. Dan gue muslim. Di Toraja, seperti yang kita tahu mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen.
Menikmati Sambal Goreng Tempe di Upacara Adat Ma’Nene’
Menjadi minoritas ditengah-tengah mayoritas mungkin membuat gue sedikit insecure. Tapi gue salah. Ternyata masyarakat Toraja sangat menghargai keberagaman beragama. Buktinya, saat upacara ma’nene’ sebelum mereka menghidangkan makanan untuk gue, mereka bertanya : maaf mba Putri muslim kan?
|
Sejujurnya waktu itu gue khawatir, karena saat upacara ma’nene’, gue melihat mereka sedang memasak pa’piong. Pa’piong merupakanan makanan khas Toraja yang proses memasaknya dengan bambu dan dibakar. Ternyata selain berisi babi, ada juga ayam dan ikan mas. Tapi gue tetap saja merasa insecure. Maaf, perihal makanan memang tidak bisa ditoleransi bagi gue.
Alhamdulillah. Begitulah gue mengucap syukur saat mereka menghidangkan nasi, sambal goreng tempe, pa’piong ikan mas serta kopi. Lebih bersyukur lagi kala mereka memberikan piring dari kertas nasi yang dilipat. Kalau ingat dan cerita lagi perjalanan saat ma’nene’, gue terharu banget. Apalagi saat itu gue ditemani om Fyant, seorang pemuda asli Toraja.
Di keluarga om Fyant ada yang beragama muslim. Dia paham betul apa yang tidak boleh dan boleh kami makan. Jadi saat gue di Toraja, dia sangat memperhatikan apa yang gue makan. Sesimpel itu bentuk toleransi di Toraja.
Berbicara Ihwal Toleransi di Alang Tongkonan Kale Landorundun
Matahari sudah berada tepat di atas tongkonan. Gue dan mama Sarjani duduk di alang Tongkonan Kale Landorundun. Saat gue datang ke Toraja untuk ke tiga kalinya, suasana disana sedikit panas. Rupanya wacana wisata halal sudah berhembus di Toraja.
Tidak bisa ji kalau wisata halal. Halal yang seperti apa? Sedangkan selama ini kami selalu memberikan makanan halal ke tamu atau keluarga kami yang muslim,” tutur mama Sarjani.
Gue paham betul kekhawatiran mama Sarjani. Sebenarnya dari sisi apa halal dipandang kala wacana wisata halal ini diangkat? Oh ternyata, Bapak Gubernur nya belum sempat ke Toraja untuk menikmati apa yang gue rasakan selama di Toraja.
Padahal selama ini, baik muslim atau agama lain hidup dengan rukun di Toraja. Selama gue menginap di rumah tongkonan mama Sarjani, gue bebas beribadah disana. Gue menikmati telur dadar dengan irisan bawang, cabai dan selada setiap pagi untuk sarapan. Untuk menu makan siang, biasanya sepulang mengajar kami memetik pakis yang tumbuh subur di sepanjang jalan.
Wisata Halal di Toraja
Bagaimana menurut Putri tentang wisata halal di Toraja?, tanya mama Sarjani. Sebenarnya, gue merasa was-was ketika menjawab pertanyaan ini. Setiap orang memang mempunyai sudut pandang sendiri. Melihat pencetus usulan ini belum pernah mengunjungi Toraja untuk waktu lama, gue pun memaklumi hal tersebut. Mungkin sebagai muslim beliau khawatir susah untuk beribadah dan mencari makanan halal.
Padahal faktanya, untuk urusan ibadah dan makan cukup mudah. Di sepanjang jalan poros Makale, ada banyak warung makanan halal. Yang memasak biasanya ibu-ibu yang berjilbab. Disekitar Ke’te’ Kesu juga ada kok warung halal. Jika kalian ngobrol dengan penjualnya, kalian pasti bisa menebak dari manakah para penjual itu, yap sebagian besar dari Pulau Jawa. Jadi sebenarnya sangat mudah untuk menemukan makanan halal. Di pusat kota Rantepao juga ada masjid raya Rantepao.
Dilarang Makan Mie saat Upacara Rambu Tuka’
Sewaktu gue ke Toraja selama seminggu, selain menikmati upacara rambu solo’, papah (suami mama Sarjani) mengajak gue ke kondangan. Nah loh gue ke kondangan loh disana. Hahaha. Bahkan gue sempat di jodohin sama ibuk-ibuk disana dengan keponakan mama Sarjani.
Kondangan yang gue hadiri di Toraja ini benar-benar berbeda dari kondangan yang pernah gue datangi. Bayangkan saja untuk makan, harus menunggu rangkaian upacara selesai dan tamu sudah berkumpul. Jadi nggak ada tuh : loe datang, ambil makan, salaman, foto bareng danpulang. Nggak! Nggak seperti itu pernikahan disana. Cerita lengkapnya silahkan baca disini ya.
Saat tiba acara makan bersama dan gue ingin mengambil mie, salah satu ibu-ibu langsung menarik nampan mie. Dan ibu yang lain langsung bilang : sebentar Putri. Ternyata mereka sedang memastikan apakah mie tersebut dimasak dengan minyak babi atau tidak.
Ya Allah, terimakasih sudah menunjukan sisi manis tolerasi di Toraja. Bahkan disaat tidak ada muslim lain selain gue, disaat mereka nggak tau kalau gue seorang blogger. Mereka tetap mencintai gue, mereka tetap menjaga apa yang gue makan.
Alhamdulillah. Lagi-lagi gue terjaga dari makanan haram. Begitulah gue bersyukur menikmati keramahan dan cinta masyarakat Toraja kepada saudara muslimnya. Sungguh bentuk toleransi di Toraja yang indah dan sederhana tapi menggetarkan hati.
Ikan Mas
Masih di acara rambu tuka’ pernikahan Toraja. Ada satu cerita indah tentang ikan mas. Sejujurnya semenjak gue datang di upacara adata ma’nene’, rambu solo’ dan rambu tuka’, gue selalu bingung kenapa selalu ada ikan mas?
Kenapa salalu ada ikan mas? Ikan mas adalah wujud cinta dan penghormatan masyarakat Toraja kepada saudara muslimnya. Karena mereka sadar, seorang muslim tidak boleh makan babi,” tutur salah seorang wartawan yang gue temui saat di rumah Mama Sarjani.
Sayangnya gue nggak bisa makan ikan. Hehehe. Akhirnya telur menjadi pilihan menu paling tepat saat tinggal di Toraja. Kok nggak makan ayam Put? Karena sebagai muslim gue juga paham, jika kita tidak boleh makan ayam, yang tidak disembelih dengan bismillah.
Drama Membeli Ayam di Pasar Makale
Bahkan gue juga ada cerita menarik tentang ayam. Saat itu gue sedang di Makale. Menginap di rumah kontrakan salah satu teman. Sebelum kembali ke Makassar, kami berencana memasak ayam panggang. Gue ke pasar untuk membeli ayam. Dan gue ternganga ketika melihat ayam yang akan kami beli dalam kondisi masih hidup. Makin bingung saat memilih mana ayam (hidup) potong dan petelur. Fyi, ayam petelur itu dagingnya alot.
Ternyata gue salah pilih. Hahaha. Ayam yang gue pilih adalah jenis ayam petelur ternyata. Salah gue juga sih nggak tanya sama yang jual ayamnya. Padahal warna bulu ayam petelur sama ayam potong jelas berbeda. Untuk proses penyembelihannya, diserahkan ke Kak Ucok yang beragama muslim.
Mungkin salah satu alasan kenapa ayam di jual dengan kondisi hidup adalah agar muslim di Toraja bisa mendapat jaminan makanan halal. Entah lah, mungkin gue perlu ke Toraja selama 1 bulan untuk memastikan perihal ini. Hahaha.
Oh iya sedikit meluruskan. Kenapa gue selalu makan telur, karena gue suka telur. Kenapa menghindari makan ayam? Karena rata-rata ayam yang disajikan adalah ayam kampung. Alot. Gue nggak suka. Hehehe. Dari pada mubazir, bukan kah lebih baik telur.
Emang ya Putri ini Jawa tulen. Jadi yang dia makan cuma telur, tahu sama tempe aja,” celetuk bos di kantor sambil bercanda. Hehehe.
Diselamatkan dari Jilatan Anjing
Setiap gue jalan ke tempat wisata, berbincang dengan orang lokal, gue selalu ditanya : Putri muslim? Bukan untuk menghindari, tapi untuk menjaga gue. Saat itu gue ke Kampung Ollon. Sebuah kampung indah di kaki gunung. Duduk bercengkrama dengan para anggota TNI dan pak kepala desa serta masyarakat Kampung Ollon.
Jarang sekali ada perempuan suka kopi dan berani jalan sendiri di kampung orang,” tutur Pak Martani, seorang TNI yang saat itu berjaga untuk menyambut kedatangan Pak Bupati.
Perbincangan di balai kampung berlangsung seru. Dimulai dari kehidupan masyarakat Ollon, tidak ada listrik, hingga menhir indah di desa seberang. Tidak terasa hampir 2 jam berlalu. Disela-sela obrolan, ada seokor anjing selalu ingin mendekati gue. Mungkin dia ingin mengenali siapa orang baru yang berani masuk ke kampungnya ini. Dan dengan sigap mereka yang ada di dekat gue mengusir anjing itu. Berapa kali dia datang, dia selalu diusir.
|
Menjaga Toleransi
Jika ada yang mempertanyakan perihal toleransi, perihal “makan apa kamu di Toraja” dan tentang kekhawatiran lain, semoga tulisan ini bisa membantu membuka pikiran. Toleransi itu sebenarnya sederhana. Kita yang muslim, paham dengan apa yang boleh dan tidak boleh harus mencari solusi terbaik saat berkunjung ke kota yang mayoritas non muslim.
Jika kamu melihat tidak ada toleransi, mungkin itulah yang ingin kamu lihat. Sedangkan gue, selalu menikmati toleransi itu sendiri. Menjadi minoritas ternyata aman kok di negeri ini. Yang terpenting adalah menjaga lisan, bagaimana berpikir sebelum bertindak.
Sampai saat ini, selalu terkesima, kagum dan bahkan ada ketakutan yang datang bersamaan setiap kembali ke Toraja. Namun selalu ada persahabatan hangat yang terjalin dengan dasar toleransi.
PS
Peluk dari jauh
Selalu dan selalu, bercerita tentang Toraja membuat nisa merasakan suasana yang memang masih kental budayanya. Apalagi toleransi nya. Duh semoga bisa ikut kesana, sekalian ikut menikmati adat budaya yang digelar
Membaca tulisan mbak Putri ini hangat sekali. Sukaaaa
Saya pernah bertemu dengan orang toraja asli pas di pare kmrn. Orang ya famah bgt dan emang tinggi gt toleranisnya. Dia justeru yg paling akrab di antara yg lain. Sayu wishlist nih yg ditunggu bgt, bisa main ke sulawesi.
wah tulisan yang keren banget, put. ternyata tidak perlu khawatir ya kalau ke toraja karena mereka sudah paham betul tentang prinsip kehalalan makanan muslim
toleransinya tinggi, senengnya kalau berkunjung ke tempat baru yang seperti ini
Toraja ini masuk wish list aku mbak, beberapa kali batal kesana, karena mepetnya waktu.
dan yang terakhir berencana, ehh sudah muncul corona
tradisinya bener bener unik dan dipertahankan sampe sekarang, kalau baca tradisi yang banyak di Toraja begini, takjub
Bca ini lgs berasa hangaaaaat sekali hati :). Bener mba, yg mbak Alamin itu aja udh bentuk toleransi banget. Aku kdg ga ngerti mau wisata halal apa yg dicetuskan Ama para petinggi itu. Bali, Toraja semua mau dihalalkan :(. Padahal apa yg kita rasain saat kesana aja, toleransi yg penduduk lokal tunjukkan ke turis muslimnya, udh jelas2 sangat membantu semua turis muslim. Kadang, sebelum melemparkan ide utk membuat wacana wisata, ada bgsnya memang si pembuat ide ngerasain sendiri utk tinggal lama di suatu tempat itu. 😀
Seru banget… Saya pengen wisata ke sana juga. Pemandangannya pasti indah. Toleransi sangat penting untuk keutuhan NKRI.
Masya Allah. Senang bisa berkunjung lagi ke mari dan sepakat soal Ayam. Kalau nggak disembelih dengan bismillah, maka si Ayam yang seharusnya halal, bisa menjadi nggak halal. Dan akhirnya saya paham tentang menu ikan mas yang disajikan teman-teman dari Toraja untuk Kakak.
Terima kasih atas kisah perjalanannnya yang hangat.
Terima kasih mbak Putri, tulisan ini menjawab kekhawatiran saya untuk melakukan ladies trip ke Toraja. Awalnya aku was-was soal makanan dan budaya di sana. Ternyata mereka sangat open dan bisa menerima muslim untuk bertandang bahkan menjamu dengan sangat baik. Suka, selalu suka baca cerita soal toleransi dan keragaman Indonesia.
Wow jadi penasaran sama Tanah Toraja. Apalagi selalu ada ikan mas, soalnya saya suka makan ikan mas, hehehe…
Yang penting adalah kita juga bisa membawa diri baik-baik, pandai menjaga sikap dan pandai menjaga lisan.
Nice story Mba
MasyaAllah, indah sekali ya toleransi beragama di Toraja itu.
saking sayangnya pada tamunya, mereka selalu menjaga dan memastikan semua aman dari apa yang tidak boleh dimakan ya. Salut sekali! 🙂
Senang sekali bisa mampir ke tulisan perjalanan Mba Putri yang sering bikin hati saya hangat.
Benar juga. Ayam yang dipotong tanpa diucapkan bismillah, bisa jadi nggak halal buat kita yang muslim. Ternyata masyarakat Toraja mengerti, pantas mereka menyuguhkan ikan mas untuk yang muslim.
Toleransi yang luar biasa.
Benar-benar mengagumkan toleransi di Toraja. Aku suka dan terharu sekali. Sikap seperti ini juga harus tertanam dalam perilaku umat muslim, sebagaimana non muslim lakukan di Toraja. Kita muslim mayoritas semoga mampu terus menjaga keamanan dan kenyamanan non muslim di negeri ini. Seperti yg mereka lakukan di Toraja kepada Mba Putri.
Wah aku mencari-cari dimana sambel tempe-nya lho Kak Putri 🙂
Bicara tentang toleransi, membaca tulisan mbak ttg bagaimana saudara-saudara menyiapkan makanan, udah adem banget.
Ternyata ada muslim juga ya Put di Toraja, kirain nonmuslim aja selama ini. Jadi tenang kan makan di sana karena warga setempat udah aware dan menghargai keragaman. Pa’peong itu macam lemang gitu ya dengan isian berbeda? Bayangin enak banget yang ikan mas. Jadi pengin ke sana, buat borong kopi dung sama makan daun pakis sendiri tuh asyik. tapi takut dikejar anjing–gw pernah digkejar anjing soalnya haha.
Senang bisa baca cerita Toraja apalagi soal toleransinya. Menurutku, wisata halal itu oke, tapi ya kunjungannya yang memang di sana pernah ada peradaban Islam. Toraja gak perlu diubah. Sama tamu sangat menghormati gitu. Apa pun agamanya, aku rasa mereka akan tetap nyaman berada di sana
Aku punya temen orang Toraja yang sekarang tinggal di Brazil, karena dapet bule. Lucunya, tuh bule malah lebih kepincut jadi orang Toraja daripada istrinya jadi WNA. Semenarik itu orang-orang Toraja di mata orang luar hehehe. Ramah, hangat dan supel. enak dijadiin temen. Ah aku jadi pengen plesiran ke sana nih…
Tantangannya horor ya apalagi serumah dengan orang sakit. Jenazahnya bisa disimpan di rumah sampai berapa lama tuh?
Syukurlah kalau di sana banyak warung makanan halal, jadi buat muslim yang berkunjung ke asana gak was-was
semua bisa mengikuti acara ini dengan tenang akhirnya, keberagaman dengan toleransi yang tinggi. Sungguh indah sekali ya kak kelompok masyarakat di Toraja ini. Sendainya ini bisa dirasakan disemua daerah di Indonesia
Wow, petualangan yang sangat seru. Sangat menarik meskipun sedikit bikin ketar-ketir untuk urusan makan dan jilatan tadi. Tapi bagi saya pribadi pengalaman Kak Putri ini patut saya ceritakan pada anak-anak. Bahwa toleransi itu nggak cuma di buka, tapi nyata adanya.
Selalu seru ya mbak kalau udah ngomongin adat istiadat dan budaya.
Ragam eksostisme nya gak akan pernah habis dimakan kemodern-an. Selalu saja ada yang bikin takjub
Salah satu impian dari zaman SMA niiih…yang belum aja kesampean. Kebetulan dulu ada beberapa temen dari Sulsel (mereka kos di Bandung) dan mereka sering cerita tentang Tana Toraja.
wuah keren banget kisahnya
toleransinya cukup tinggi di Toraja
begini ya nikmatnya hidup humanis dan saling mengerti
semoga suatu hari aku juga bisa menikmati manisnya toraja
Damai banget ya. Semoga toleransi ini bisa terus terjaga, seiring juga dengan berbagai kekayaan budaya yang kita punya. Beruntung banget kak Putri bisa berkunjung ke Toraja. Thanks ceritanya kak, semoga bisa menginspirasi tempat lainnya.
Seru banget pengalamannya di Toraja… Ternyata toleransi di sana sangat baik ya Mbak. Aku yg tadinya gak kebayang gimana kalo bertualang kesana jadi ada sedikit gambaran tentang masyarakatnya. Ada muslim juga toh. Dan gak sulit beribadah maupun nyari makanan halal. Tambah pengen kesana, byk hal menarik yg bisa dieksplorasi.
baca cerita begini aku jadi merinding, maksudnya terkesan sama toleransi masyarakat disana
pasti jadi pengalaman berkesan banget ya kak apalagi udah ada wisata halal
jadi tambah pengen bisa travelling ke sana
Wah Mbak Putri sudah berkali2 ya ke Toraja. Saya yang tinggal di Sulsel malah baru sekali itupun nggak sampai di kotanya, huhu. Btw suka dgn ceritanya tentang Toraja ini, ringan dan berbobot. Jadi tahu kalau orang Tator menganggap orang yang sudah mati itu hanya tidur saja selama upacara kematiannya belum diadakan.
Aku cemburu sejujurnya
Karena aku yang orang SulSel tapi belum pernah kesana
Sekarang, saya sudah jadwalkan 2022 bakalan kesana. Nunggu anak kedua kuat lari dulu hehe
Aku selalu amaze sama cerita-cerita tentang tanah toraja ini. Sejak kecil dulu sering baca artikelnya di majalah bobo. Penasaran ih itu kalau nginap di rumah tongkongannya gimana rasanya. Tradisinya juga unik-unik banget.
Untuk wacana wisata halal ini sy pribadi gak setuju krna gmna yah tambah mengotak2 ngotakkan perbedaan, sy yakin setiap org beragama pasti bsa menoleransi, termasuk yg di Toraja ini, toleransi mreka kuat skli pdhl boleh dikata mayoritas Kristen. Klu wisata halal diadakan ini sama aja menyudutkan kelompok
Saya jadi ikut merasa sedang di Toraja baca tulisan kak Putri, senang ya di bagian lain Indonesia seperti Toraja menjunjung tinggi Bhinekka Tunggal Ika menghargai toleransi pada mereka yg beda