Lilpjourney.com | Kusta dalam Perspektif Agama – Di masa lalu, ada sebuah penyakit yang sangat ditakuti dan dianggap sebagai kutukan oleh masyarakat. Penyakit ini disebut dengan kusta, yang menyerang kulit dan saraf manusia. Orang yang terinfeksi kusta seringkali mengalami diskriminasi dan dikeluarkan dari masyarakat karena dianggap sebagai orang yang tidak pantas.
Meskipun saat ini kusta dapat diobati dan dikendalikan dengan baik, namun stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta masih ada dan marak terjadi.
Kusta dalam Perspektif Agama
Dalam pandangan berbagai agama, kusta dianggap sebagai salah satu dari sekian banyak penyakit yang menyerang manusia di dunia yang penuh dengan dosa. Kusta sering dianggap sebagai kutukan dari Tuhan dan orang yang terinfeksi kusta dianggap tidak layak untuk beribadah dan hidup di tengah masyarakat.
Meskipun demikian, dalam islam dikisahkan dalam sebuah hadist yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW, memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukannya bersama tangan beliau ke dalam piring. Kemudian beliau mengatakan: “‘Makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya'” (HR at-Turmudzi).
Hal ini membawa pesan penting bahwa penderita kusta harus diperlakukan dengan kasih sayang dan tidak dicampakkan begitu saja dari masyarakat, sebagaimana yang Rasulullah ajarkan.
Sama seperti apa yang disampaikan oleh bapak Pdt. (Emeritus) Corinus Leunufna yang juga kebetulan seorang OYPMK (orang yang pernah menyandang kusta) jika dulu penderita Kusta diasingkan dan bahkan ada yang tinggal di gua, saat ini masyarakat harus lebih terbuka dan tau bahwa kusta adalah sebuah penyakit kulit yang bisa disembuhkan.
Sebenarnya, Apa itu penyakit kusta?
Kusta (lepra) adalah sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri bernama Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang sistem saraf dan kulit manusia, dan dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ tubuh.
Kusta menyebar melalui tetesan udara dan kontak langsung dengan penderita kusta yang belum diobati. Meskipun tergolong penyakit menular, kusta sendiri membutuhkan waktu yang sangat lama sebelum gejalanya muncul, jadi bisa dibilang kusta adalah penyakit menular yang paling tidak menular.
Penyebab Penyakit Kusta
Berdasarkan Talkshow Ruang Publik KBR yang dipersembahkan oleh NLR Indonesia dengan tema Kusta dalam Perspektif agama, dr. Muhammad Iqbal Syauqi, stigma ini lahir dari ketidak tahuan dan minimnya informasi terkait kusta.
Beberapa faktor utama penyebab orang terkena kusta selain bakteri Mycobacterium leprae, kontak erat dalam waktu yang lama dengan penderita serta faktor imunologi dan lingkungan orang saat terpapar bakteri kusta juga menentukan.
Kusta Bisa Disembuhkan Jika Diobati Sedini Mungkin
Kondisi awal saat seseorang terkena kusta adalah, warna kulit berbeda dari yang kulit yang sehat, mati rasa dan terasa nyeri. Saat pemeriksaan pertama, penderita di periksa di seluruh tubuhnya, lalu kemudian diberikan obat untuk diminum secara rutin selama 12 bulan.
Sebagai OYPMK, pendeta juga membagikan pengalamannya ketika awal mula terkena penyakit kusta, yaitu mati rasa di kaki yang kemudian dianjurkan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas.
Menurut pendeta (Emeritus) Corinus Leunufna, beliau merasa takut dengan adanya stigma yang beredar di masyarakat. Pendeta juga menyampaikan bahwa beliau meminum obat tanpa putus selama satu tahun.
“Jujur saya tidak menyesal menjadi OYPMK… karena sebagai seorang rohaniawan, saya yang seharusnya turun langsung untuk membantu orang-orang yang terkena kusta” ungkap Pdt. (Emeritus) Corinus Leunufna.
Manusia diciptakan lengkap dengan rasa kemanusiannya, sehingga tidak pantas kita memberikan stigmatisasi kepada siapapun termasuk penderita kusta. Karena kita tidak menghargai ciptaan Tuhan, karena terkena penyakit kusta juga bukan pilihan penderita. Lanjut Pdt. (Emeritus) Corinus Leunufna.
Saran dari dokter Iqbal Syauqi sebagai seorang dokter sekaligus seorang santri, agar terhindar kusta yaitu tetap menjaga kebersihan, kemudian mengkonsumsi gizi yang baik serta ketika mengalami gejala segera berobat.
Kemudian yang terakhir untuk menghindari stigma, kita harus menambah pengetahuan dengan benar tentang kusta. Agar kesadaran di masyarakat bisa meningkat sehingga diskriminasi bisa dihilangkan. Dan itu menjadi tugas kita bersama saat ini