Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Book Review : Surya, Mentari dan Rembulan

10 min read

surya, mentari dan rembulan
Judul Buku              : Surya, Mentari dan Rembulan
Penulis                    : Sili Suli
Tahun Terbit           : Cetakan kedua, September 2019
Jumlah halaman     : xxviii + 469 hlm; 13,5 x 21 cm
Penerbit                  : Arti Bumi Intaran
ISBN                        : 978-602-5963-39-1

S I N O P S I S

Novel ini berkisah tentang Surya, seorang gembala kerbau dari Toraja yang mendapatkan tugas dan amanah dari warga kampungnya untuk mencari Mataallo, adik Mentari, kekasihnya yang diculik sekelompok orang yang tak dikenal di pinggiran kota Rantepao. Tugas itu dipercayakan kepada Surya dan beberapa anak muda kampung Waka. Untungnya, saat penculikan terjadi, ayah Mataallo sempat melakukan perlawanan dan meninggalkan tanda luka pada beberapa penculik Mataallo.

Pencarian ini berbuntut panjang, sehingga Surya dan dua temannya terpaksa berangkat ke Yogyakarta dengan bantuan Puang Lammai dan Tabib Istu. Sesampainya di Yogyakarta, ternyata Mataallo telah dijual kepada Raden Boedijono, seorang juragan batik asal Surakarta. Puang Yasser adalah seorang anggota Brigade Dhaeng berusaha membantu Surya dengan cara membeli kembali Mataallo dari tangan Raden Boedijono. Usaha Puang Yaser gagal karena Mataallo telah dijanjikan oleh Raden Boedijono untuk diserahkan kepada Koh Langgeng. Untung seorang putri bangsawan Yogyakarya bernama Rembulan hadir di saat Surya dan teman-temannya telah putus asa untuk membawa pulang Mataallo ke Toraja. Berkat bantuan ayah dan kakak Rembulan, Raden Boedijomo meminta kompensasi bahwa Surya harus menggantikan Mataallo sebagai porter Koh Langgeng ke Nepal demi mewujudkan nazarnya untuk membawa abu jenazah kakeknya ke kaki Gunung Sagarmatha

TENTANG BUKU SURYA, MENTARI DAN REMBULAN 

Siang itu ada notifikasi email muncul di layar handphone. Tertera nama Sili Suli sebagai pengirim email dengan judul Resensi Novel Toraja. Bagian ‘Toraja’ memang nggak bikin kaget, karena hampir 40% isi blog ini tentang pesona Toraja. Tapi ini, tentang resensi novel? Wow. Biasanya email tentang Toraja seputar informasi acara adat atau yang berhubungan dengan pariwisata. Saat kak Sili Suli menerangkan pada email tersebut bahwa novel dengan judul Surya, Mentari dan Rembulan ini merupakan buku pertama beliau dan baru saja diluncurkan diajang Ubud Writers and Readers Festival 2019, tanpa pikir panjang gue pun mengiyakan. Kurre sumanga Kak Sili Suli!

Tiba di Banjarmasin setelah tualang di Tulungagung, gue disambut dengan paket buku Surya, Mentari dan Rembulan. Senyum gue pun mengembang seketika. Gue yang nggak melakukan riset apapun tentang buku ini di gugel⎯berharap buku ini menjadi kejuatan kecil lainnya tentang Toraja⎯saat membuka paket disapa oleh buku bersampul biru dengan design yang langsung mengingatkan gue pada rumah tongkonan serta gembala kerbau ‘tedong’. Tapi kok ada Tugu ‘Ngejaman’ Jogja pada buku ini? Setelah membaca sinopsis yang cukup detail, gue pun paham kenapa ada dua sosok gadis serta Tugu Ngajaman pada cover buku ini.

Sebenarnya saat melihat ketebalan dari novel ini, gue sedikit pesimis bisa menyelesaikan buku ini. Karena dulu buku ‘Landorundun’ karya Rampa’ Maega yang tebalnya hanya setengah dari buku ini saja baru bisa gue selesaikan 1 bulan. Bagaimana dengan buku ini?

Mayat Berjalan

Saat membaca daftar isi dari novel ini, ada bab yang menggelitik gue untuk sesegera mungkin masuk ke bab itu : Mayat Berjalan. Seringnya teman-teman suka  menanyakan tentang ‘mitos’ mayat berjalan di Toraja, terlebih gue pernah datang ke acara Ma’Nene. Penasaran tentang cerita mayat berjalan? Silahkan baca langsung dibuku ini.

Berawal tentang hoaks buah tomendoyang yang tumbuh di Gunung Napo mampu menyembuhkan berbagai penyakit, sehingga membuat banyak orang mencari buah tersebut. Tapi banyaknya orang yang mendaki gunung tanpa ‘etika’ menyebabkan rusaknya pepohonan di Gunung Napo. Akhirnya dibuatlah aturan adat baru oleh Ne’Ari selaku tominaa (pendeta adat) beserta para tetua adat lainnya dan disetujui oleh masyarakat Kampung Waka’. Tujuan dari aturan adat baru ini tak lain untuk melindungi keasrian dari Gunung Napo.

Tomendoyang

Sepertinya selama beberapa kali ke Toraja dan tinggal tongkonan, gue belum pernah mendengar buah tomendoyang ini. Akhirnya gue meluncur ke gugel, mencoba mencari tau tentang buah ini. Tapi nihil. Untungnya balasan email dari kak Sili Suli yang menawarkan ‘menginap di tongkonan keluarga beliau di jalur pendakian Gunung Napo tempat buah tomendoyang tumbuh’ memberi oase pada rasa penasaran gue terhadap si buah tomendoyang yang dalam buku ini akan membawa Surya berpetualang hingga Nepal.

Oh iya, sedikit berkenalan dengan kak Sili Suli. Beliau merupakan mantan jurnalis yang hobby naik gunung. Ah rasanya rugi jadi bagian Toraja jika tak hobby naik gunung. Hehehe 😆 Dan buku yang rampung disusun kurang lebih tiga tahun ini merupakan buku karya pertama kak Sili Suli. Kata Kak Sili Suli lamanya proses penyusunan dari buku ini tak lepas dari proses check and balance atas hasil riset yang beliau lakukan untuk buku ini. Karena gue sendiri pun paham, terdapat 32 wilayah adat di Toraja dimana satu wilayah dengan wilayah lainnya punya aturan adatnya sendiri yang kebanyakan tidak tertulis. Salut banget dengan beliau yang mampu membuat buku pertama setebal dan sedetail buku ini. Saat ini Kak Sili Suli sedang berkutat menyusun buku biografi.

SETTING

Jika membaca sinopsisnya, maka sudah jelas latar dari novel ini adalah Toraja, Jogja serta Nepal. Honestly, gue baru tau kalau Gunung Sagarmatha merupakan nama lain dari Gunung Everest. Salah satu gunung tertinggi di dunia. Apakah kak Sili Suli sudah pernah kesana?

Saat membaca bab pertama, pembaca langsung dibawa pada setting waktu abad 18-an. Setting waktu inipun diperkuat dengan belum adanya listrik, transportasi yang digunakan oleh para tokoh dan cerita tentang Belanda. Jika sekarang akses jalan Toraja sudah sangat mudah karena pembangunan jalan di pegunungan sehingga dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, maka pada novel ini jelas sekali para tokohnya hanya menggunakan ‘kaki’ untuk melakukan perjalanan. Jadi teringat gue yang kalah cepet berjalan sama Mama Sarjani (usia beliau 59 tahun) dipematang sawah dan bahkan Mama Sarjani yang menolong gue sewaktu menuruni bukit 😂

Ketika Ne’ Ari dan anaknya, Mataallo, sedang melakukan perjalanan mengambil uang kopi di Singki’ dan melanjutkan perjalanan ke Lolai tengah malam⎯gue bener-bener bisa membayangkan jalan dan hutan seperti apa yang mereka lewati, karena gue pernah nyasar tengah malam (dua kali) sewaktu ke arah Tikala dan Lo’lai⎯dengan tujuan memperlihatkan keindahan negeri di atas awan kepada Mataallo. Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh 6 orang tak dikenal. Disinilah cerita penculikan Mataallo berawal.

Kenangan Toraja

Semua kenangan tentang Toraja berkejaran di kepala gue. Termasuk ingatan nyasar 2 kali dalam satu malam yang memakan waktu hampir 6 jam (dari jam 5.30 sore hingga 11.30 malam). Saat masuk ke jalan arah Tikala senja sudah merayap, sampai tak terasa malam datang. Gue asik ngobrol sama Koneng. Ya hanya berdua, sama-sama cewek, Koneng belum pernah ke Toraja sebelumnya. Karena kondisi saat itu terang bulan karena super moon membuat kami terbuai dan tanpa sadar sudah berkendara terlalu jauh. Untung saja waktu itu malam Natal dan suasana perumahan serta gereja di Toraja bagian atas masih ramai walau sudah tengah malam. Hingga akhirnya gue merasa : loh ini arah ke rumah Papa di Pangala, loh ini rumah Papa, loh ini patane acara Ma’nene kemarin, astaga fix gue nyasar! Dan tibalah gue di rumah dinas TNI dekat Tugu Kepala Pongtiku di Pangala’. Untung salah satu rumah dinas tentara itu masih terbuka.

👧 Tabe’. Pak saya mau ke Lo’ko Mata. Tapi sepertinya salah jalan.
👨 (masih memproses : ke Lo’ko Mata tengah malam?)
👧 Jadi gini Pak, kami dari Banjarmasin dan disini menginap di daerah Tikala, di Landorundun. Tapi sepertinya karena signal saya hilang, akhirnya saya malah sampai disini. Saya sudah mutar-mutar tugu Pongtiku 3 kali tadi. Hehehe. Bapak bisa tidak gambarkan peta manual saja pak.
👨 Jadi adik dari Banjarmasin, sebentar saya gambarkan petanya ya. Terlalu jauh kamu nyasarnya dik. Mungkin 1-2 jam baru sampai.

Dik dik, jangan lupa do’a ya!” teriak bapak tentara itu.

Jangan Melupakan Tuhan

Singkat cerita akhirnya gue berhasil pulang ke rumah Mama di Landorundun. Pukul 12 malam lebih. Dan gue cuma diem, nggak cerita sama mama takut diomelin karena gue yakin mama khawatir banget. Hehehe. Persis seperti cerita Mataallo yang ke Lolai tengah malam, gue dan Koneng pun nekad ke Lolai tengah malam. Belum kapok nyasar satu kali, kali ini pun kami nyasar lagi saat menuju Lolai. Jadi, gue bener-bener bisa merasakan suasana saat penculikan Mataallo. Cerita detailnya harus bertemu langsung dan menikmati secangkir kopi 😝😝😝 Tapi sebenernya, Toraja aman kok untuk dijelajahi kapanpun. Gue aja yang memang waktu itu sedang jauh dari Tuhan. Pelajarannya : Jangan pernah lupa Tuhan kapanpun dan dimanapun.

Baiklah, kembali ke novel Surya, Mentari dan Rembulan. Ne’ Ari yang berhasil mengalahkan 4 orang yang menghadangnya memberikan tanda dengan mencukur sebelah alis mereka. Tiba di Kampung Waka’, Ne’ Bua yang mendapatkan laporan dari Ne’Ari tentang penculikan Mataallo memutuskan membuat kelompok Elang Napo’ yang beranggotakan Surya dan lima temannya untuk misi penyelamatan Mataallo. Tugas mereka adalah mencari orang-orang yang alisnya dicukur sebelah.

Toraja

Bagi kalian yang sering membaca blog gue, mungkin sudah tau bahwa saat ini gue masih jatuh cinta dengan Toraja. Dalam novel Surya, Mentari dan Rembulan sangat detail penggambaran Toraja abad 18-an. Di novel ini menceritakan bahwa masyarakat Toraja masih menganut kepercayaan nenek moyang yaitu Aluk Todolo. Berbeda dengan masyarakat Toraja saat ini yang mayoritas memeluk agama Kristen. Selain menceritakan kepercayaan nenek moyang masyarakat Toraja, dinovel ini turut menyinggung tentang adanya perbudakan di zaman dulu serta mulai masuknya Belanda ke Toraja.

Cerita tentang sengketa kopi juga turut disinggung pada novel ini. Jika kalian pernah membaca tulisan gue tentang Kopi Toraja Sapan, mungkin kalian ingat bahwa pernah terjadi perang kopi di Toraja sekitar abad 18-an ini. Jadi bisa dibilang penggambaran Toraja abad 18-an pada novel ini sangat terbaca jelas dan berkaitan dengan sejarah.

Gue salut banget ketika kak Sili Suli menceritakan tentang peran tominaa dalam menjaga aturan adat yang telah disepakati, seperti tidak membiarkannya dilaksanakan rambu solo’ tingkat ma’barata yang tidak hanya mengorbankan kerbau dan babi tapi juga manusia. Bahkan menurut gue pribadi, peran tominaa ini masih dominan hingga saat ini.

Jogja

Penggambaran Jogja abad 18-an pada novel ini sangat detail. Masuknya penjajahan Belanda serta kehidupan bangsawan Jawa tergambar dengan jelas. Kehidupan kerajaan dan masyarakat Jawa yang tak lepas dari kesenianpun diceritakan dengan detail.

Jika banyak teman-teman traveller suka dan jatuh cinta dengan Jogja, sebenarnya gue masih mencari feel untuk menjelajah Jogja lagi. Hehehe.

Nepal

Well, Nepal merupakan bucket list gue. Setidaknya dari buku ini gue berhasil mendapatkan sedikit gambaran tentang Nepal. Setidaknya semangat gue untuk ke Nepal akhirnya berkibar lagi.

Dari ketiga latar pada novel ini, barangkali Nepal lah yang paling asing untuk gue. Tapi karena novel ini ditulis dengan sangat detail, gue pun sangat menikmati alurnya.

Reading will take you everywhere

KARAKTER

Membaca bab awal pada buku ini, nama Surya dan Mentari, sepasang kekasih dari Kampung Waka’, tentu sudah sangat familiar bagi para pembaca. Berbeda dengan Rembulan, yang sampai pertengahan buku, barulah sosoknya muncul. Ya, judul buku ini merupakan gabungan dari tiga nama tokoh utamanya yang sama-sama memiliki arti cahaya.

Surya

Sebenarnya nggak ada yang salah dengan karakter Surya. Karena memang dialah pemeran utamanya. Tapi gimana ya, sosok Surya terlalu mendominasi dan terlalu sempurna. Hahaha. Karakternya yang manly pun membawa kenangan gue pada cinta pertama gue di Toraja. Mereka sama-sama memiliki sifat yang bertanggungjawab, penyayang, lembut, ramah dan hormat kepada orang tua, juga termasuk sifatnya yang malu-malu tapi ganjen serta kebaikannya yang suka membuat wanita salah paham pun sangat mirip 😒  Nuwun sewu Kang Suli, apakah sifat muane disana seperti itu? Suka bikin nyaman sampai bikin baper. Hehehe. Tapi bagian yang paling bikin gue feel banget sama Surya itu ketika dia ‘kepo’ dengan hal-hal baru dan budaya Jawa yang baru pertama dia temui. Seperti itulah mungkin gue yang ‘jatuh cinta’ dengan Toraja. Sebagai pendatang yang melihat banyak hal-hal baru tentu terasa menakjubkan.

Jatuh cinta padamu tak pernah salah, hanya temponya terlalu cepat.

Mentari

Membayangkan Mentari dalam deskripsi yang diceritakan pada novel ini, saat menjadi penerima tamu di acara Rambu Solo’, mengingatkan gue saat ke pesta rambu tuka’ di Sesean Suloara. Sosok ‘Mentari’ baine Toraya cantik sedang mengenakan kandure tergambar jelas di kepala gue. Sifat mentari yang cerdas dan haus pengetahuan pun ini mirip dengan dengan beberapa sosok wanita Toraja yang pernah gue temui yaitu Mama Sarjani, Mama Debora, Kak Febe dan Wenef yang aktif dalam dunia pendidikan di Toraja. Senang berkenalan dengan wanita-wanita tangguh seperti mereka.

Rembulan

Sebenarnya, gue paling suka sosok Rembulan. Tapi terlalu down to earth kalau dibandingkan dengan realita. Karena setau gue, batasan keluarga bangsawan, apalagi Jawa, dengan orang biasa sangat kentara. Unggah-ungguh mereka dalam bergaulpun sangat tertata. Tapi nggak masalah sih. Karena yang disayangi rakyat memang sosok seperti Rembulan ini.

Salla dan Yosua

Dari pada sosok Surya yang serba perfect, gue lebih menikmati karakter Salla dan Yosua. Menurut gue sosok mereka lebih real dengan sosok remaja Toraja yang pernah gue temui. Seperti waktu gue ketemu dengan gembala kerbau bernama Lucas. Saat gue mengajak ia berkenalan, dari sorot mata coklatnya ia tampak malu-malu. Ya ampun, itu pertama kali gue ngajak kenalan cowok. Hahaha.

Jadi setelah gue baca buku ini, cover buku ini benar-benar menggambarkan tiga karakter di novel ini. Oh iya sebenarnya banyak sekali tokoh dalam novel ini. Seperti Ne’Bua, Ne’Ari, Puang Yasir, Tabib Itsu, Mas Yadi, nDoro Anten yang merupakan tokoh-tokoh protagonis dalam cerita di novel ini. Lalu ada juga Tangke Bunna saudagar kopi sebagai sosok antagonisnya. Untuk mengenal tokoh-tokoh yang lain, silahkan baca langsung bukunya 😛

CONCLUSION

Buku ini merupakan buku tertebal kedua yang gue baca tahun ini. Seperti yang gue jelaskan di awal, minat baca gue sedang terjun bebas. Tapi ternyata rasa penasaran gue tentang petualangan dan cerita cinta Surya yang bikin gue gemes karena kurang tegas terhadap perempuan membuat gue pada akhirnya menyelesaikan b uku ini dalam waktu lebih dari 40 hari. Hehe.

Seperti kamu yang tak pernah memberi pasti, tapi suka memberi hati.

Buku Surya, Mentari dan Rembulan ini bener-bener melebihi ekspektasi gue sebelumnya. Awalnya gue kira hanya berisi romansa klise. Tapi setelah gue baca, ternyata cukup complicated hingga mampu menyita ruang 469 halaman. Bahkan komposisi romansa, sejarah dan adatnya sangat pas. Sayangnya, cerita penculikan Mataallo yang awalnya berlangsung seru hingga membuat gue deg-degan terasa tanggung. Untungnya semua rasa tanggung itu terbalas saat alur cerita mulai menemukan titik buntu : Mataallo di jual pada saudagar batik Raden Boedijono. Penasaran bagaimana misi Surya akhirnya selesai membawa pulang Mataallo? Kalian harus baca langsung buku ini!

Nasihat Ne’ Bua

Pada bagian akhir novel ini, gue suka banget saat Ne’ Bua memberi nasihat kepada Surya dan Mentari perihal hubungan mereka kedepannya. Jadi bagaimanakah akhir cerita cinta Surya dan Mentari? Siapa yang dipilih Surya? Mentari atau Rembulan? Jawabannya hanya bisa kalian dapatkan dengan membacanya langsung 😝😝😝

Saat kak Sili Suli mengirimkan email, beliau sudah memberi tahu terkait cetakan dan typo pada buku ini. Cetakan gue periksa aman. Terkait typo, memang beberapa ada gue jumpai pada novel ini. Tapi selama masih bisa dibaca nggak masalah sih. Hehehe

Well, secara keseluruhan gue suka novel ini. Penggambaran Indonesia abad 18-an khususnya Toraja, Batavia dan Jogja tergambar cukup jelas. Alurnya yang rapi berhasil membuat gue menikmati membunuh waktu bersama novel ini. Sedikit sekali ada novel yang mampu mengangkat tentang adat tidak hanya pada satu daerah, tapi dua daerah sekaligus dengan sangat detail. Gue nggak bisa membayangkan sebanyak apa referensi yang kak Sili Suli baca untuk penyusunan novel Surya, Mentari dan Rembulan ini. Dan sepertinya, novel ini akan gue baca ulang untuk mempertajam ingatan.

Abad 18

Karena ada buku yang ditulis bukan hanya untuk dibaca lalu disimpan. Tapi kelak, kamu akan menemukan
buku yang membuatmu rindu ingin berpetualang di dalamnya lagi. Atau bisa saja ada karakter di dalamnya yang membuatmu ingin mengulang cerita bersama lagi – Lil P Journey.

Kondisi masyarakat Toraja terutama dalam menjalankan aturan adat pada abad 18-an tidak berbeda jauh dari sekarang. Seperti masih tabunya ‘kemesraan pasangan kekasih’ ditempat umum yang bisa menjadi buah bibir masyarakat. Salah-salah bisa dihukum potong babi kalau melanggar.  Jangankan pasangan kekasih, bagi mereka yang sudah menikahpun tidak bisa asal-asalan deket-deket di tempat umum. Ini salah satu yang paling gue kagumi dari masyarakat disana.

Setidaknya, selain aroma parfumemu, genggaman tangan mu membuatku nyaman saat berpetualang di Toraja. 

Terimakasih kak Sili Suli sudah memberikan kesempatan untuk menikmati buku ini. Setidaknya gue bisa bernostalgia saat-saat indah bersama dia, tersenyum malu mengingat cinta pertama di Toraja dan gue bahagia pernah menyaksikan langsung betapa luar biasanya masyarakat Toraja. Ditunggu karya-karya luar biasa selanjutnya.

Buntu Napo

Oh iya, tunggu juga trip Toraja ke 7 untuk memenuhi undangan kak Sili Suli menginap di tongkonan keluarga beliau di Buntu Napo. Hohoho. Tidak sabar bertemu dengan buah tomendoyang yang membuat gue berpetualang 469 halaman serta menikmati kopi sembari mendengar kak Sili Suli bercerita.

Semua agama itu mempunyai tujuan yang baik. Agama boleh diperbandingkan tapi tidak perlu dipertentangkan – Koh Bing dalam buku Surya, Mentari dan Rembulan.

Sewaktu hendak menekan terbitkan postingan ini, Mama Sarjani telpon via whatsapp. Sudah satu tahun ternyata sejak pertama keli bertamu ke Tongkonan Mama Sarjani. Gue bersyukur, walau kami terpisah jarak, berbeda keyakinan dan gue hanya tamu, tapi beliau, kamu dan masyarakat Toraja lainnya yang pernah gue temui, selalu mempunyai ruang yang lebar untuk menyambung silahturahmi dan berbagi kabar dengan ‘aku yang sedang jatuh cinta pada Toraja’.

Kurre sumanga

PS
Peluk dari jauh

 

Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

42 Replies to “Book Review : Surya, Mentari dan Rembulan”

  1. Saya pernah besar di sulawesi, belum pernah ke toraja. Ada beberapa penggalan kalimat dalam buku yang direview, yang tak asing di telinga saya. Salah satunya "tabe"yang artinya permisi

  2. Saya lahir dan besar di Makassar, Mbak Putri. Tapi anehnya belum pernah ke Toraja. Malah ke Yogya sudah bolak-balik karena sekarang tinggal di Kebumen hahaha.

    Menarik sekali ulasan singkat novel ini, Mbak. Apalagi settingnya Toraja zaman lampau ya. Namun pastinya tersaji kental adat istiadat dan kaerifan lokal Toraja ya.

    Jadi penasaan saya ingin membacanya. Apalagi ada lika-liku pencarian orang hilang. seru pastinya.

    1. Malah saya yang bolak balik Toraja dari Banjarmasin kak. Hehehe
      Yuk kak di adopsi bukunya. Rekomended sekali untuk membunuh waktu kak. Karena walupun cerita cinta fiksi tapi dibumbui oleh riset tentang adat yang hingga saat ini masih dilaksanakan walaupun ada beberapa yang mengalami pergeseran.

      1. Kok jadi penasaran banget pengin baca ya. Dengan setting toraja! Aku selalu suka baca novel dengan setting budaya. Kayak baca ensiklopedi tapi gayanya novel. Aaaaak. Seru banget! Gak sabar buat ke toko buku buat ketemu Surya, Mentari, dan Rembulan!

  3. Kalo berbicara soal Toraja, ini wish list aku buat mengunjungi daerah ini dimana dulu papahku bertebaran foto-fotonya karena ada kerjaan disini. Dan ulasan novelnya menarik dengan setting ada unsur Jogja juga

  4. Baca buku ini kayanya seolah kita pake mesin waktu ke Toraja, Nepal dan Jogja abas 18-an saking detailnya ya mba. Jadi nambah wawasan buat travelling juga ya.

  5. Wah diluncurkan di Ubud Writers and Readers Festival 2019. itu udah keren banget dan jaminan mutu huhuhu..kereeen abis

    membaca resensinya, jadi makin pengen ke Toraja n Nepal hahaa…belum pernah soalnya. apalagi bisa ngebayangin abad ke -18, risetnya luar biasa

  6. Terima kasih reviewnya Mbak Putri. Senang membacanya. Sekalian saya mohon izin untuk mengutip satu-dua kalimat dari review ini untuk diselipkan dalam cetakan ketiga novel Surya, Mentari dan Rembulan. Sekalian juga saya mohon izin untuk memberikan novel gratis bagi beberapa komentator review ini. Sukses selalu Mbak Putri. See you in Toraja

    1. Silahkan kak Sili Suli. Saya malah sangat berterimakasih kak ^^
      Baik kak, saya pilih dulu ya kak. Selanjutnya akan saya info lewat email ya kak ^^
      Terimakasih sekali sudah mampir dan membaca review saya.

    2. Terima kasih responnya mbak Putri. Senang membaca semua komentar teman-teman semua. Mbak Putri saja yang pilih 5 orang komentator yang beruntung mendapatkan hadih novel ini. Saya akan kirim langsung ke alamatnya masing-masing. Saya tunggu infonya paling lambat tanggal 5 Februari ya Mbak Putri. Semoga bisa tiba di tangan penerimanya tepat tanggal 14 Februari 2020…. salam hormat buat semua

  7. Review yg apik! untuk novel setebal itu, aku yakin perlu waktu yg lama menuntaskannya. Tapi jika sedari awal kak putri gk terus² memancing supaya kita² membacanya sendiri, aku gak se-tertarik ini pengen baca juga. Semoga bisa jadi novel tebal selanjutnya yang ku baca ��
    sukses buat kak putri dan kak Sili Suli!

  8. Sekilas baca sinopsis aja udah kaya kebawa ke dalam cerita perjalanan surya ini. Banyak petuah bijak yang terkandung di dalam cerita ini. Yang wajar saja proses nya memakan waktu selama itu. Kayaknya harus baca langsung bukunya nih pasti seru hehehe.

  9. Menarik banget nih bukunya, menceritakan beberapa lokasi dengan detail pula.
    Dulu saya pernah bercita-cita juga mau nulis novel, dengan setting desa kecil gitu.
    Tapi sampai sekarang, cuman di angan aja, hahaha.

  10. Selalu penasaran dengan Toraja. Adat istiadatnya masih sangat kental di kota tersebut. Berharap ada lomba menulis dan hadiahnya jalan-jalan ke Toraja, pasti seruuuu

  11. Toraja, slah satu tempat yang masuk wishlist untuk dikunjungi…baca reviewnya jadi penasaran penegn baca bukunya apalagi aku penikmat novel dengan latar belakan sejarah…

  12. Menarik sekali yang sudah ke Toraja ya,mbak. Buku ini pastinya juga menceritakan banyak hal. Toraya merupakan salah satu lokasi yang ingin kukunjungi namun sampai saat ini belum kesampaian. Setting dalam novel ini tentunya sangat mengesankan di berbagai tempat yah apalagi Nepal dan Jogja yang selalu punya kisah budaya tersendiri.

  13. Buku ini pastinya juga menceritakan banyak hal. Toraya merupakan salah satu lokasi yang ingin kukunjungi namun sampai saat ini belum kesampaian. Setting dalam novel ini tentunya sangat mengesankan di berbagai tempat yah apalagi Nepal dan Jogja yang selalu punya kisah budaya tersendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *