Lilpjourney Seorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.

Toraja, Cerita Pengalaman Traveling dan Jatuh Cinta dalam Bis

7 min read

loko mata toraja pengalaman traveling

Lilpjourney.com | Travel Story – Tidak pernah terlintas bakalan jatuh cinta dalam bis yang membuat gue bolak-balik ke satu kota. Ini adalah cerita pengalaman traveling paling berkesan. Bagaimana tidak, traveling 12 jam di Toraja berubah menjadi traveling rutin setelah gue bertemu dengan dia. Dalam sapaan “suka kopi?” hingga akhirnya janji bertemu di acara adat ma’nene’. Sebuah ritual adat “mayat berjalan Toraja” jika kalian pernah mendengar.

Liburan Gratis 7 Hari di Sulawesi

labengki

Cerita pengalaman traveling kali ini diawali dengan liburan gratis. Entah ada angin apa sampai bos waktu itu memberikan izin panjang beserta uang saku untuk jalan-jalan. Yap! Liburan gue dari tiket pesawat, hotel hingga transportasi dicukupi oleh si bos. Tanpa pikir panjang, tawaran liburan gratis pada bulan Mei 2017 itupun gue iyakan. Masih tersisa 2 hari untuk siap-siap, itupun setelah si bos memberikan wejangan dan uang untuk liburan. Hahaha

Bukan pesangon kok. Cuma apresiasi karena kamu udah kerja keras dan inipun ada long weekend.” tutur ibu bos dengan manis.

Destinasi wisata yang gue ingin kunjungi adalah Sulawesi. Tepatnya Morowali dan Toraja. Berbeda provinsi memang. Tapi ini liburan gratis? Dan ada waktu libur selama 7 hari. Mari jelajahi Sulawesi! Hari pertama gue berencana keliling Makassar, lalu keesokan harinya terbang ke Kendari dan lanjut ke Morowali. Mau ngapain ke Morowali? Ke pemukiman suku bajo. Ituloh suku yang hidupnya nomaden dan terkenal karena punya kemampuan menyelam yang sangat lama. Di hari terakhir liburan, sebelum kembali ke Banjarmasin, gue pengen ke Toraja. Dongeng tentang “tinggal satu rumah dengan mayat” membuat gue sangat penasaran dengan kota ini.

Menyusuri Laut Sulawesi

Di Morowali, tepatnya di Labengki, setelah perjalanan menyusuri laut Sulawesi yang sangat indah (bertemu lumba-lumba dan paus dong) selama 2 jam, kedatangan gue disambut oleh anak-anak suku bajo yang sedang beratraksi. Mereka naik ke atas bebatuan lalu melombat dan byuuur menyelam. Ah mereka sungguh membuat gue iri.

Sungguh beruntung kalian tinggal jauh dari hiruk pikuk kota. Di tengah laut yang indah dan seperti orang-orang yang bebas. Terimakasih sudah menuturkan banyak cerita tentang laut Indonesia. 

Puas menikmati alam Labengki selama 3 hari, gue kembali ke Makassar. Sayangnya badai dan hujan menerjang di tengah perjalanan. Harusnya untuk kembali ke Kendari hanya perlu waktu 2 jam. Tapi karena badai, kapal yang gue tumpangi tidak bisa leluasa membelah lautan. Alhasil 4 jam berlalu dengan menggantungkan hidup pada doa.

Sejauh apapun kamu pergi, selama itu masih di bumi Tuhan. Maka jangan lupa untuk bersyukur dan berdoa agar bisa sampai ketujuan dengan selamat.

Perjalanan Ke Toraja Utara

Jak Koffie Toraja

Ternyata naik bis dari Makassar ke Toraja itu tidak seperti imajinasi gue. Gue pikir cuma perlu menunggu bis lalu duduk anteng. Nggak gitu. Ternyata harusnya booking dulu tiket bisnya biar kebagian kursi. Berkat kebaikan hati supir bus, gue diberi kursi yang biasa digunakan beliau untuk tidur.

Pantas saja bus antar kota ini di desain dengan sangat nyaman. Ternyata perlu waktu 8 jam dari Makassar ke Toraja. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi ketika gue sampai di Kota Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Setelah menunggu sekitar 15 menit, mas rental motor pun sampai. Karena baterai HP hanya tinggal 80% dan gue kehilangan signal, akhirnya gue minta tolong mas rental motor untuk membuatkan rute wisata di Toraja Utara ini.

Oh iya, Tana Toraja dan Toraja Utara adalah dua kota yang berbeda. Sebelumnya memang kedua kota ini di bawah naungan administratif Tana Toraja. Kabupaten Toraja Utara terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang berisi pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja.

Bertemu di Bus Rantepao – Makassar

Dua belas jam di Toraja Utara. Tidak cukup! Walaupun kata beberapa traveler Toraja hanya tentang wisata kuburan, bagi gue kota ini sangat menarik. Aroma adat dan keramahan masyarakatnya sangat menawan. Terlebih untuk seorang penyuka kopi, Toraja adalah surga kopi.

Bayangkan saja kota ini mempunyai kopi yang sudah diakui dunia. Kopi Toraja Sapan. Dihasilkan dari Pegunungan Sapan Toraja Utara. Aroma kopi inilah yang kemudian membawa gue pada sebuah coffee shop mungil dengan pintu merah. Jak Koffie. Bangunannya mungil tapi atmosfer di dalamnya sangat menyenangkan. Tidak ada AC. Hanya kipas angin dan aroma kopi yang terperangkap dalam ruangan.

Sanyangnya waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Saatnya pulang. Micha. Begitulah dia memperkenalkan diri sebelum gue pamit. Seorang owner sekaligus barista yang idealisnya tersaji manis di Jak Koffie. Sampai jumpa lagi! Begitulah mantra dia saat kami berjabat tangan untuk berpisah.

Kursi Cadangan Toraja – Makassar

Lagi-lagi gue harus duduk di kursi cadangan bus. Bahkan kali ini lebih parah. Gue harus rela menunggu semua penumpang masuk baru bisa ditentukan duduk dimana. Pak sopir pun meminta gue duduk di kursi paling belakang terlebih dahulu.

Sambil menunggu bis penuh, gue telpon seorang teman di Surabaya. Jay. Sekadar memberi laporan bahwa misi ke Jak Koffie sudah selesai dan sekarang sudah di dalam bus menuju ke Makassar. Ternyata pembicaraan seputar kopi dan Jak Koffie menarik perhatian salah satu penumpang bus.

Garis wajahnya tampak tegas, sorot matanya juga tajam tersinari lampu jalanan. Kami berbincang sekitar 15 menit. Percakapan standar seputar dari mana, kerja atau kuliah. Lalu si empu kursi datang. Gue pun pamit. Duduk di bangku terdepan ternyata tidak nyaman. Dan gue baru sadar : kok tadi nggak tanya namanya siapa.

Ma’Nene’, Ritual Mayat Berjalan Toraja

ma nene toraja

Tiba-tiba sebuah pesan masuk di aplikasi chat. Fyant Layuk. Siapa ya? Lalu gue lihat foto profilnya. Wah ternyata laki-laki yang gue temui dalam bis. Oh iya saat itu dia sempat menyimpan nomor ponsel gue. Awalnya kami hanya saling bertukar kabar. Lalu dia yang bekerja di Dinas Pariwisata Toraja Utara memberikan informasi perihal upacara adat langka, ma’nene’. Sebuah upacara adat yang hanya digelar setiap tiga tahun sekali.

Bulu kuduk gue berdiri saat searching perihal upacara adat ini. Oh ini toh upacara mayat berjalan Toraja. Menarik memang. Tapi apa gue siap bertemu mummy? Solo traveling ke Toraja? Bagaimana kalau setelah upacara adat itu nggak bisa tidur?

Tapi semua pemikiran itu sirna saat gue tiba di Rantepao pukul 5 pagi tanggal 23 Agustus 2018. Om Fyant tiba setelah 10 menit gue mengabari bahwa sudah sampai di pemberhentian bus dekat tugu Kandean Dulang. Hawa Toraja lebih dingin dari terakhir kali gue kesana. Mungkin karena sudah memasuki musim penghujan.

Bertemu Papa Mummy

Setelah mandi dan sarapan dengan so’ko, makanan khas Toraja yang terbuat dari ketan dan parutan kepala, kami bersiap menuju lokasi acara ma’nene’. Lokasi ma’nene’ ini berada di Desa Pangala’. Desa indah yang dikeliling pemandangan pegunungan, yang saat jam 7 pagi masih diselimuti kabut, dan masyarakat yang sangat ramah.

Ma’nene’ merupakan upacara adat yang digelar sebagai wujud cinta kepada leluhur dan mengganti baju jenazah juga membersihkan patane’ (kuburan). Salah satu yang sangat berkesan saat menghadiri upacara adat ini adalah betapa mereka sangat memuliakan tamunya.

Putri muslimkan? Kamu makan yang ini ya. Kalau yang satunya lagi kamu tidak boleh makan.” tutur Pak Nathan selaku keluarga penyelenggara ma’ nene’.

Saat hari kedua di Toraja, setelah pulang dari acara ma’nene’. Gue dan om Fyant duduk di teras home stay tempat gue menginap. Hujan cukup deras malam itu. Kami berbincang tentang acara hari ini dan rencana untuk besok. Tiba-tiba ponselnya berdering, teman-temannya sudah menunggu di rumah.

Sebelum dia pulang, gue menarik tangannya sambil memberikan buah tangan. Sebuah bantal mungil berwarna pink dengan motif sasirangan. Saat itu dia bertanya : kenapa warna pink? Lalu gue jawab karena : aku suka warna pink. Dia hanya tersenyum hangat sembari mengecup punggung tangan gue dan pamit pulang.

Jadian di Kuburan Batu Tertua Toraja

Masih mau ngerasain magisnya Toraja? Yuk aku ajak ke rumah keluargaku. Begitulah percakapan kami pagi itu. Gue yang selama tiga hari ini pasrah mau diculik ke mana aja, hanya bisa duduk diam di bangku belakang motor. Tibalah kami di sebuah tongkonan yang sangaaaaaat indah.

Tanduk kerbau yang terpasang rapi di depan tongkonan seakan menjukkan siapa si empu rumah tersebut. Setelah beristirahat sejenak, om Fyant menunjukan arah ke sebuah area pemakaman kuno. Erong Lomba Parinding. Sebuah situs pemakaman kuno yang berada di dalam gua alam.

Jadi disini ada nenek dari keluargaku yang dikubur disini. Tau nggak bagaimana caranya melihat erong (peti) yang umurnya tua? Coba deh kamu perhatikan setiap erong. Beda-beda kan ukirannya. Ada juga yang nggak ada ukirannya. Nah, yang nggak ada ukirannya itulah yang diperkirakan usianya paling tua.” jelas om Fyant.

Kamipun tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Om Fyant yang seorang fotografer sibuk mencari foto. Gue yang seorang blogger sibuk meneliti masing-masing erong, tengkorak dan rangka manusia. Ini nggak serem loh. Cantik banget kalau dari sisi penikmat adat seperti gue. Hahaha.

Hei! Kamu pernah tanya kan, kenapa waktu itu aku minta nomor kamu, hubungi kamu dan minta kamu kesini? Well, karena sejak pertama kali kita ketemu di bis, ya aku suka kamu. Walaupun saat itu remang-remang, walaupun saat itu hanya terdengar suara kamu bukan wajah kamu. I will gonna miss you.” tutur om Fyant.

Dari sinilah petualangan gue di Toraja benar-benar di mulai. Pengalaman traveling di Toraja ini dimulai sejak gue bertemu om Fyant. Lalu kembali untuk datang ke acara rambu solo’ oma nya yang akan diadakan pada bulan Desember 2018.

Landorundun, Desa yang Memukau di Toraja

cerita landorundun toraja

Sayangnya cerita di Toraja tentang “kami” berakhir begitu saja. Sedang gue masih tersesat dengan keindahan kota ini. Hingga sampailah gue di Desa Landorundun. Desa yang konon menjadi tempat tinggal Putri Landorundun. Seorang putri berparas rupawan dengan rambut panjang bak Rapunzel.

Gue pun secara rutin mengunjungi Desa Landorundun. Pernah malah gue tinggal satu minggu di desa ini hingga berlabel ‘anaknya ne’ Lembang Landorundun’ atau anaknya kepala Desa Landorundun. Nggak heran sih. Karena selama di Landorundun gue tinggal di rumah Mama Sarjani, seorang kepala SDN Tikala 3. Suami beliau adalah kepala desa.

Tinggal di rumah beliau, ikut mengajar disekolah beliau, menyusuri kebun kopi, datang ke acara pernikahan (rambu tuka’) dan ke acara pemakaman (rambu solo’) adalah rutinitas gue selama tinggal disana. Lengkap sudah perjalanan jatuh cinta ku di Toraja. Tapi gue nggak siap. Nggak siap untuk pulang ke Banjarmasin dan terjebak dengan rutinitas kantoran lagi.

Tempat Wisata Toraja

kampung ollon toraja pengalaman traveling

Tidak terasa, September 2019 adalah kali ke enam dan terakhir gue ke Toraja. Bertemu mama Sarjani dan teman-teman disana. Iya, gue sudah banyak punya teman di Toraja. Bahkan ketika kalian meminta rekomendasi tempat wisata di Toraja Utara dan Tana Toraja gue akan memberikan banyak referensi :

  1. Ke’te Kesu
  2. Lo’ko Mata
  3. Erong Lombok Parinding
  4. Kalimbung Bori’
  5. Londa
  6. Lemo
  7. Museum Ne’ Gandeng
  8. Pasar Hutan Bamboo To’Kumila
  9. Desa Landorundun
  10. Lo’lai
  11. Agrowisata Pango-pango
  12. Tondok Lemo
  13. Kampung Ollon
  14. Sa’pak Bayo-bayo
  15. Burake
  16. Kolam Makale
  17. Toraja Art Coffee
  18. Djong Koffie (dulu Jak Koffie)
  19. Kapitoo Cafe

Jadi kalau ada yang tanya pengalaman traveling paling berkesan dan membangkitkan banyak inspirasi versi gue? Berwisata ke Toraja. Karena hingga 6 kali gue ke Toraja, kota ini masih sangat indah. Pesona kota ini malah